Rabu, 29 Januari 2014

Pesona di 45 Derajat


Pesona di 450

Ini kali kedua aku berkunjung ke desa ini, Desa Hinas Kanan. Desa yang terletak di kaki Gunung Meratus  Kalimantan Selatan ini ternyata menyembunyikan sejuta pesona. Program hutan desa memberiku kesempatan untuk menemukan surga yang terkikis zaman. Program ini bukan hanya menjanjikan hutan lestari tapi juga rupiah. Hutan Desa salah satu program pemerintah untuk ijin 35 tahun kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Aku beruntung dapat membantu masyarakat menyusun perencanaan pengelolaan hutan desa.  Mereka telah mendapat ijin menteri kehutanan setahun lalu. Bukan apa-apa, pendampingan masih diperlukan untuk memenuhi sejumlah syarat  untuk memperolah ijin gubernur.  Bahkan, setelah ijin tersebut diperoleh, masyarakat masih memerlukan  keterampilan mengelolah hutan secara lestari. Kebetulan lembagaku memper oleh dukungan dari Kemitraan melalui forest governace program.

Setelah menempuh perjalanan 9 jam dari Banjarmasin kami tiba di rumah Pak Midu, tempat kami bermalam. Dia mantan pembakal, sebutan untuk kepala desa yang mempelopori usulan hutan desa sejak 2009.

Kali ini aku datang untuk sosialisasi hutan desa kepada masyarakat yang tinggal di empat balai. Di Desa Hinas Kanan terdapat 5 balai, yaitu balai Panyatnyan Agung Mula Ada yang terletak di pusat desa. Di balai ini terdapat dua RT, yaitu RT 1 dan RT 2. Sementara lainnya yang tepisah adalah balai balai Aniangau atau Munjal Pagat di RT 3, balai Sungai Bumbung di RT 4 dan balai Sungai Kiting di RT 5.

Balai adalah istilah yang digunakan untuk menamakan lokasi pemukiman. Pada setiap lokasi tersebut mereka membangun balai yang akan digunakan untuk upacara adat yang disebut aruh. Upacara adat aruh adalah kegiatan masyarakat Dayak Hinas Kanan yang berkenaan dengan berladang padi. Aruh dilakukan tiga kali setahun dimana aru yang dilakukan pada bulan Oktober di sebut aruh manugal. Aruh ini dilakukan pada saat menanam bibit. Kemudian bulan Februari dilakukan aruh bapalas dengan tujuan ….. Sementara itu aruh pisit yang dilakukan pada Juli merupakan aruh yang dilakukan setelah panen padi. Bapalas dimaksudkan sebagai bentuk syukur karena adanya padi yang telah dijadikan beras dan siap dimakan.

Sosialisasi terpaksa aku lakukan karena jarak antar empat balai itu sangat jauh dan hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama dua jam. Selama ini, sosialisasi hutan desa hanya di lakukan di pusat desa. Mereka hampir tak terjangkau. Sebenarnya, sepeda motor dapat digunakan pada musim kering namun tetap saja beresiko kecelakaan. Baru-baru ini seorang warga melintas dan jatuh ke jurang, kaki kirinyapun patah. Saat melintasi jalan antar balai tersebut aku sempat khawatir karena harus melewati tanjakan dengan kemiringan 450   selama satu jam. Pada puncak tanjakan aku menemukan pemukiman pertama yang disebut Limbuung. Aku sempat mencatat 16 KK yang hidup dari kebun karet. Untuk sampai di Limbuung, aku  melewati sungai kecil yang memilki kolam. Mereka menyebutnya batu Sudain. Dua ratus meter kemudian aku melewati air terjun Meranin sebelum mulai melintasi jalan setapak yang aku sebut tanjakan Limbuung. Menurut Pak Amar dan Pak Hadi ketua lembaga pengelolah hutan desa, Limbuung sudah masuk dalam areal hutan desa.

Di sana aku bertemu Darsani yang bercerita tentang rencana desa tetangga untuk mengusulkan hutan desa. Menurutnya, program hutan desa  akan menarik baginya bila ada manfaat langsung seperti berkebun dan pemanfaatan kayu. Lainnya halnya dengan Siah yang tinggal di balai Lukuran, tujuanku selanjutnya. Perempuan yang berposter badan gemuk ini lebih kritis. Menurutnya, hutan desa akan bagus kalau bisa membuat kampungnya terang dengan jalan yang diaspal seperti di kota.

Bukan apa-apa, hingga kini lampu dan jalan menjadi dambaan mereka sejak dulu. Mereka berharap dengan hutan desa, mimpi mereka akan terwujud. Selama berada di desa ini, aku sendiri kehilangan kontak karena tidak ada jaringan telepon seluler. Bertuntung ada satu bukit dengan pemandangan kebun karet yang berjejer dan memenuhi perbukitan aku mendapat jaringan. Kesempatan itu tak aku sia-siakan untuk mengubungi keluarga, sekadar menanyakan kondisi mereka. Bukit itu kemudian aku namai bukit signal. 

Tanjakan yang tiada henti tak membuatku gentar, aku ingin sampaikan salam hutan desa kepada mereka yang jauh diatas gunung. Pemadangan yang elok membuatku lupa akan tanjakan 450 yang selalu ketemui setiap perjalan 100 meter. Bahkan, aku menemukan sebuah bukit cinta. Di bukit ini aku melihat petani menanam padi dilereng bukit dengan kemiringan sampai 450. Bukit cinta tersebut dikelilingan pohon karet dengan ladang padi di tengahnya membentuk hati. Pesona hutan desa Hinas Kanan tak behenti, aku selalu mendapatkan kejutan. Perjalan menurun setelah mendaki membawaku sampai di Balai Batu Kiting, pemukiman yang paling ujung dari desa ini.

Aku sempat kecewa karena tak menemukan siapapun untuk aku ajak ngobrol tentang hutan desa. Masyarakat desa ini perempuan dan laki-laki, bahkan anak-anak mereka bawa ke ladang padi dan kebun karet. Siang dan tak jarang menjelang malam baru kembali ke rumah.

Rasa kecewaku mendadak sirna ketika kudapati sungai dengan bebatuan dan air yang jernih, mengalir dengan desirannya yang tercipta dari riam-riam kecil. Sungai itu yang terbesar yang pernah aku temui sejak berada di desa ini. Meskipun tak dalam tetapi cukup lebar yang mencapai separoh lapangan bola.

Sejurus kemudian aku sudah berada di tengah sungai. Memainkan batu dan air seperti anak kecil. Ya, begitulah adanya. Aku tinggal di pesisir sehingga hanya bertemu pantai dengan pasir putih dan sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu dengan air nan jernih. Sungai ini melintasi hutan desa dan akan bermuara di Berabai, ibu kota kabupaten Hulu Sungai Tengah.  Dari bukit cinta, sungai sudah terlihat dari jarak 1 km dari atas bukit dengan pesonanya.

Lagi lagi aku diberi kejutan. Aku melihat sebongkah batu yang berwarna merah. Disekitar batu itu ada kolam yang cukup dalam sementara disekitarnya digenagi air selutut yang berlantai batu kali beraneka bentuk, cantik sekali. Samlah, isteri (almarhum) Pak Midu, menuturkan bahwa batu itu disebut batu kiting yang berarti anak anjing. Pemberian nama itu bukan tanpa alasan. Dulu, dikisahkan seekor anjing dikutuk menjadi batu oleh Sumali karena tidak menghiraukan panggilannya. Sumali adalah orang gaib, salah satu penguasa Meratus.

Benar saja, bila diperhatikan maka batu itu mirip seekor anak anjing. Sementara itu, masyarakat setempat yang melihat foto hasil jempretan seorang teman yang dipajang di balai desa baru mengetahui bila batu yang mereka sebut  batu kiting atau batu anak anjing tersebut memang mirip anak anjing.

Topografi desa Hinas Kanan yang berbatu dan berbukit terletak disebelah barat pengunangan Meratus yang terbentang dari selatan sampai utara. Hutan desa terletak disebelah Utara desa memang menyimpan sejuta pesona. Di dalam hutan desa terdapat beberapa air terjun, Rampah Tarawih salah satunya. Rampah dalam bahasa Dayak di Hinas Kanan berarti air terjun. Melalui program hutan desa, di lokasi air terjun tersebut akan dibangun hidro micro untuk penerangan. Sementara itu, melalui program ini potensi air terjun dan pemadangan eksotik lainnya akan dijadikan paket wisata pada pelasanaan aru.

Perjalananku untuk sampaikan kabar hutan desa kepada mereka digunung nun jauh dari  pusat desa tak sia-sia. 10 dari dari 12 orang yang kutemui disana sudah mengetahui keberadaan program ini di desa mereka. Kendati demikian, mereka belum percaya program ini lampu dari hidromikro hutan desa menerangi rumah mereka.




Layanan Air Unlimited di Hutan Desa Lano



Setiap tempat punya kekurangan dan kelebihan. Desa Lano yang terletak di Kecamatan Jaro Kabupaten Tabalong bisa dibilang desa yang beruntung. Ketika masyarakat ditempat aku kesulitan air, mereka tak perlu menutup kran. Cukup 10 ribu rupiah  perbulan sudah dapat  fasilitas layanan air tak terbatas.

Padeli Ketua Lembaga Hutan Desa Lano menceritakan bahwa masyarakat desanya sudah dapat merasakan manfaat hutan desa. Saat ini, setiap rumah disana sudah mendapat air bersih langsung dari hutan desa. Bukan itu saja, air minum isi ulang juga disediakan dengan harga hanya 3 ribu rupiah per galon, bisa hutang.

“Pak Senny mau cuci mobil?” Padeli coba menggodaku. Aku bingung, apa hubungannya hutan desa dengan cuci mobil, gratis pula. Ternyata, satu lagi layanan lembaga hutan desa Lano adalah tempat cuci mobil dan motor, tak perlu bayar. “Tapi cuci sendiri ya, Pak.”

Meskipun Desa Lano belum mengantongi ijin meteri kehutanan tapi potensi hutan desa sudah dirasakan masyarakatnya. Menurut Ahmadi, fasilitator hutan desa Lano, potensi hutan desa bukan hanya air tapi jasa lingkungan lain juga menjanjikan. Di Hutan Desa Lano terdapat banyak air terjun yang dapat digunakan sebagai sarana rekreasi. Tahun 90-an, air terjun di sana ramai dikunjungi orang, bukan hanya dari Kalsel tapi juga Kaltim. Posisinya yang berada diperbatasan Kaltim dan Kalsel serta dekat dari jalan utama membuat wisata air ini akan menarik. Bahkan, sudah ada beberapa fasilitas yang pernah dibangun pemerintah beberapa tahun lalu tapi tidak dirawat.  

Lano dimataku adalah desa yang menawan dengan segala suberdaya alam yang tetap akan terjaga melalui hutan desa. Lano, berasal dari kata la yang berarti tidak  dalam bahasa arab dan no yang juga berarti sama, namun dalam bahasa Inggris.

Topografi yang berbukit batu kapur membuat airnya yang dihasilkan tak pernah keruh dimusim hujan dan kering di musim kering. Mayoritas penduduknya adalah suku Banjar, penduduk asli Kalimantan Selatan. Seperti banyak tepat di pulau Antasari  ini, masyarakatnya hidup dari kebun karet.

Lano kami kenal melalui Sutisna dari Badan Pengelolah Daerah Aliran Sungai Barito. Dia berharap, lembagaku dapat membantu mereka mengurus ijin agar dapat memanfaatkan potensi desa melalui program hutan desa. Padeli dan Ahmadi Sang pendamping punya mimpi besar lain. Setelah memberikan layanan air bersih kerumah-rumah dan air isi ulang, sekarang mereka berfikir bisnis besar. Menjual air kemasan. Wow, hebat!

Sabtu, 25 Mei 2013

LAMPU UNTUK BU HERLINE

Remuk. Satu kata yang sering kugunakan di status bb ku. Workshop evaluasi PNPM Peduli di Kalimantan baru saja selesai dilakukan. Lebih lima puluh orang hadir untuk melakukan evaluasi terhadap program fase pertama atau fase pilot. Pagi ini, aku masih harus menunggu mereka cek out baru aku bisa balas dendam untuk mengganti jam tidurku. Aku harus bergandang untuk menyiapkan workshop yang dilakukan di hotel Mesra Internasional Samarinda itu. Untuk acara seperti ini, kesibukan luar biasa akan terjadi h-1. Ya, sekarang aku sedikit lega karena acara berlangsung sukses. Hanya menulis laporan untuk menuntaskan program fase ini. 

Badan yang terasa remuk tak menghalangiku untuk sarapan. Aku tahu, ceremoni sarapan tidak boleh aku lalaikan atau kampung tengah akan mengalami gangguan yang hebat. Di restoran hotel aku bertemu dengan rombongan dari Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka adalah salah satu penerima manfaat dan target  untuk program ini. Salah satu di antara mereka adalah Bu Herline, pengrajin anyaman rotan dari komunitas dampingan KBCF untuk program ini. Setelah selesai sarapan, mereka siap untuk berangkat ke bandara. Tapi untuk mengabadikan momen ini, kami berfoto. Heri, sang fotografer dadakan kami mulai beraksi. Dia sibuk memainkan kameranya, sesekali memberikan instruksi kepada kami. Ya, selesai, kata dia. Kamipun berdiri. Namun Bu Herline protes. Belum, belum selesai. Kami heran dan tanpa diperintah kami kembali duduk pada posisi awal. Sang fotografer kembali beraksi. Tapi Bu Herline masih saja protes. Lampunya belum nyala. Oooo.....

Minggu, 05 Mei 2013

Mereka yang bertahan dalam badai

Di kampung asal, bisa jadi rumah mereka lebih baik dari tempat tinggal mereka saat ini. Mereka sudah 3-4 tahun bekerja dan membuat pondok dilokasi kebun sawit.  Pondok rata-rata berukuran 2x meter. Demi rupiah, mereka meninggalkan rumah, kampung halaman dan keluarga. Apa hendak dikata, di kampung tidak ada lagi rupaiah yang bisa digenggam. 

Beberapa di antaranya terpaksa membawa serta anak mereka, tidak sekolah. Tidak kurang dari 50 anak usia sekolah terpaksa ngantuk di pemukiman buruh sawit ini. Aku telah bertemu kepala dinas pendidikan setempat. Sementara ini kami sepakat agar biasa buat sekolah filial disana. Rencananya kami, tahun pertama guru akan disiapkan oleh program yang kubaca, selanjutnya dinas pendidikannya akan programkan pada tahun 2014. Sayangnya perusahaan yang mempekerjakan mereka tidak dapat kami temui, semoga mereka terketuk nantinya. 

Tentu kami tidak akan membangun gedungnya, tapi bagaimana proses belajar bisa berlangsung. bukan hanya anak usia sekolah Dasar, anak remaja dan perempuan juga minta dibuatkan kejar paket. Wow, semangat mereka luar biasa. Motivasi mereka sederhana, mereka tidak bercita cita selamanya jadi buruh. Mereka berharap dengan sedikit bekal ijazah kelak bisa hidup dengan dapat pekerjaan lebih baik. bagi arang tua tidak berharap banyak, kecualinya bisa memberi makan anak dan dengan sekolah kanan kelak nasib mereka tidak seperti orang tuanya. 

Jumat, 03 Mei 2013

Parabola di Gubuk Derita

Pagi ini setelah mengurus tanamanku, aku kembali membuka laptop dan menemukan catatan laporan assesment PNPM Peduli yang belum aku sentuh. Kubuka satu map plastik dan teringat satu kejadian disebuah perkampungan, dilokasi assesmen. Aku tak sabar untuk menulisnya, takut lupa dan kehilangan moment. 

Ya, aku mau cerita tentang pemandangan yang berbeda. Jujur, rekomendasi lokasi assesmen program yang kubawa bukan ke lokasi ini. Entah mengapa, setelah diskusi dengan kepala desa yang direkomendasikan aku ingat satu perkampungan di wilayah yang sama. Kampung Kutai, itu adalah nama perkampungan penduduk yang terletak di Desa Santan Ulu. Disebut demikian karena mayoritas penduduknya adalah suku Kutai. Mereka adalah salah satu suku asli Kalimantan Timur, selain paser, dayak, dan Tidung. Setidaknya itu yang kutahu saat ini.

Suku Kutai di Desa Santan Ulu tinggal di satu dusun yang disebut Wira II. Saya belum sempat tanya mengapa di sebu demikian, kenapa nggak disebut Dusun Kutai saja. Kondisi yang berbeda yang kumaksud adalah ketika masuk di desa tersebut jalannya belum diseminisasi, jaringan PDAM belum nyampe, bilsa sakit mesti ke desa tentangga, mau urusan desa jauh, mau usaha nggak ada modal, mau bongkar muatan bingung, mau apa aja, sulit bagi  mereka.

Mereka pasrah, hanya menunggu. Berbeda dengan perkampungan sebelah. Jalan mulus, usaha berkembang, faslititas umum tersedia, rumah sudah cukup memadai, bahkan beberapa disebut mewah. Menurut kepala dusun, mereka belum kebagian giliran. Mestinya jalan mereka dulu yang dipoles tapi penduduk kampung sebelah protes, jadi mereka mengalah.

Pemandangan kedua yang berbeda dan bisa jadi "bahan" evaluasi bagi kita semua agar tidak terkecoh adalah setiap rumah ada parabola. Loh, emang nggak boleh? Masalah buat elu! Ya, nggak lah, tapi lihat dong rumahnya. Reot, atap daun nipah, dinding nggak jelas, jendela dari kain bahkan spanduk bekas, terima raskin. 

Penasaran dengan pemandangan itu, akupun menggali informasi. Ternyata, tv adalah satu-satunya hiburan di kampung itu sehingga setiap malam anak-anak dan orang tua berbondong-bondong Pak Dusun, satu-satunya warga yang memiliki tv saat itu. Banyaknya kasus digigit ular saat pergi dan pulang nonton tv tadi maka kebutuhan perbaikan rumah, pendidikan dan sandang pangan tereliminasi. Merekapun rela mencicil parabola dan tv untuk sekdar menemani kala malam menyapa. Maklum, belum ada jaringan tv kabel  ditempat terisolir seperti di kampung mereka. Jadi, parabola dan tv tidak dapat dijadikan indikator kesejahteraan di dusun ini.



Kamis, 02 Mei 2013

3 Cara Bongkar Muatan Secara Darurat

"Pak. Saya mau ke belakang." Kampung tengah terasa ingin mengeluarkan sesuatu. Bingung mencari kamar kecil, keringat dingin sudah membasahi wajahku sampai kuputuskan bertanya pada pemilik rumah. "Ini cangkulnya, ke kebun saja Nak." Oh, Tuhan, masak kita mau ke kemar kecil malah disuruh nyangkul. 

Dilain waktu, disebuah pemukiman nelayan. Serangan di kampung tengah datang lagi. "Maaf Bu. Saya mau ke kamar kecil." Sang ibupun menunjuk ke arah bilik yang tak berpintu. Aduh, bagaimana ini! Kan malu mau jongkok tapi ibu ada di dapur, bakal kelihatan. Terus, kan nggak enak dengan suara bomnya nanti, nggak ada perangkat silent atau getar saja. Masyarakat di kampung nelayan tersebut belum ada yang punya jamban berseptiktank, apalagi bersertifikat, hanya wc cemplung.

"Bu, ada tamu diluar. Penting mau ketemu ibu." Aku mendapat ide agar dia pergi dari depan bilik tempat aku jongkok. Sang ibupun bergegas, bermaksud menemui Sang tamu karanganku. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Beruntung, rumahnya agak panjang sehingga waktu kurasa cukup untuk bongkar muatan. Tak lama Sang ibu muncul dan sedikit mengomel karena tamu yang dimaksud tidak dia dapatkan. "Mungkin keburu pulang Bu." Aku menghiburnya.

"O, ada tamu ya. Tadi kirain siapa yang lagi bongkar muatan." Aku dikejutkan suara Pak RT dari bawah. Dia sedang mandi dengan air laut sebelum membilas badan dengan air tawar. Mereka  harus berhemat air karena sulit mempereolehnya. "Ya Pak. Saya numpang bongkar Pak. Sudah penuh nih. Maaf ya Pak." Aduh, aku berhasil mengelabui Sang Ibu, eh malah Sang bapak ada dibawah. Kena' deh.

Dua peristiwa itu terjadi disaat aku melakukan assesment PNPM Peduli di Kalimantan. Bila di kereta api aku pernah lihat orang bawa kursi atau koran untuk duduk karena tidak dapat kursi, mungkin saya akan bawa jamban ke sana, saat assesmen karena nggak ada jamban. Mau bongkar muatan aja susah nian, sampai harus menunggu malam gelap. Lah, mereka ketika mau melakukan ceremoni itu santai banget. Datang, duduk langsung selesai, pergi bawa cangkul, gali lubang, jongkok lalu tutup lagi, selesai.  

Ada banyak cara mereka membongkar muatan karena tidak punya jamban keluarga ataupun wc umum. Ada yang pake keresek baru lempar, adapula yang pake jongkok di kebun pisang sambil berlari karena muatan takut disambar bebek. Kalau yang disambar muatan hasil bongkaran nggak sampai masuk rumah sakit tapi kalau yang lain?

Wah, tidak kebayang kalau presiden yang pesawatnya harus mendarat darurat di kebun sawit dan mau bongkar muatan tapi diberi cangkul seperti saya. Pasti sesampainya di istana langsung keluar instruksi untuk pembuatan program 1 milyar jamban untuk KK miskin. Tapi kalau nggak ada presiden yang mendarat darurat minimal sudah masuk program PNPM Peduli lah.

Rusuh Bersama Bu Vinny di Makassar

Makassar, 2012. Aku tidak begitu yakin dengan tahun yang kutulis ini tapi aku yakin bahwa ini adalah satu-satunya acara PSF yang kuikuti. Banyak cerita, cemooh dan juga canda tawa. Aku bertemu dengan banyak orang baru, disamping keterbatasan Bu Vinny mengelolah acara tapi membawa kesan selangit. Kemasan acaranya penuh kejutan, kadang kecewa tapi akhirnya bahagia. 

Pembukaan yang datar, sedikit membosankan namun celoteh peserta membuat suasana ceria. Sesekali terdengar nyeletuk Mas Dwi yang nggak enak tapi menghibur. Bukan itu saja, MOP dari Papua jadi hidangan khas setiap pertemuan Mitra PNPM Peduli. Bertemu dengan beranekaragam dan warna orang disana, bertukar cerita dan derita, seakan lupa dengan kondisi masyarakat dampingan yang penuh keterbatasan. Bertemu dengan mereka yang penuh semangat, penuh gagasan dan penuh cinta. Aku masih  ingat banyak nama tapi juga sudah yang terlupa. Tapi aku tak pernah lupa dengan ceremoni penutupan yang begitu hangat. Cahaya lilin dan lagu kemesraan seakan menjadi memontum penuh hasrat, hasrat akan mimpi membuat masyarakat, komunitas dan orang yang terpinggirkan mendapat sedikit perubahan, sedikit perhatian, sedikit saja. 

Aku masih ingat comment temanku hari ini di jejaring sosial. Dia nun jauh disana, di tanah Papua. Dia tak sabar untuk bertemu, sekadar berjabat tangan, bercanda dan bertukar buah tangan. Satu lagi di Kalbar yang jarang menyapa tapi sering menitip pesan, sekadar halo.  Yap, mungkin moment seperti itu tak akan terulang tapi moment seru lainya akan datang bersama PNPM Peduli. Aku bahkan sempat berfikir, bagaimana kalau kita tidak dengan program ini lagi. Apakah  masih bisa tercipta jalinan rasa yang begitu kuat, begitu tulus? Hanya waktu yang akan menjawab.

Salam hangat untuk semua yang ada di foto diatas, semoga Bu Vinny dan PSF bisa mempertemukan kita lagi untuk seru-seruan, sampai rusuh.

Pulau Gusung: Kampung Nelayan di Tepi Hutan Bakau


Pulau Gusung, sebuah pemukiman nelayan diatas air. Pulau hanya sebutan setempat karena ada daratan di tengah laut, bukan menggunakan definisi UNCLOS. Sebenarnya pulau itu bukan alami tapi berasal dari tumpukan material pasir laut hasil pengerukan alur kapal perusahaan PT. Pupuk Kaltim Tbk tahun 80-an. Sementara Gusung adalah sebutan untuk daratan yang muncul saat air surut dan akan tenggelam ketika air pasang. Hingga kini sebutan Pulau Gusung untuk pemukiman nelayan tersebut melekat dan dijadikan sebuah RT. Pemukiman yang dihuni 77 KK tersebut semuanya nelayan.

Sebenarnya tahun 2003, aku pernah melakukan kegiatan disana, namun hanya setahun lalu kami pergi. Saat itu penduduknya tidak lebih 20 KK. Ketika aku datang untuk assesmen PNPM Peduli kudapati rumah yang semakin banyak, namun tetap saja kumuh. Tiang rumah berasal dari kayu bakau, lantai dan dinding dari kayu sobetan, istilah untuk papan sisa. Tidak ada jamban keluarga, tidak ada sumber air bersih, penerangan dari lampu jenset. Menurut Udin, ketua RT setempat, dulu ada tandon dan perahu yang rutin mengantar air, tapi tersangkut kasus korupsi sehingga program tersebut berhenti. Kondisi rumah reot tidak layak huni juga menjadi pemadangan tersendiri di kampung itu.  "Walikota dan Sekda berjanji dengan kami saat mereka berkunjung kesini." Ketua RT menjelaskan kalau sebenaranya mereka pernah dijanji untuk bantuan rehab rumah.

Pulau Gusung berbentuk opal dengan luas kira-kira dua kali lapangan sepak bola. Disekeliling pulau itu beridiri rumah-rumah yang membelakangi laut. Sebenarnya, pemukiman itu cukup menarik untuk dijadikan salah satu tujuan wisata, rekreasi keluarga. Ada pemandangan mangrove dan laut terbuka, hutan mnagrove dan industri pupuk dari laut. Lebih menarik bila malam hari dengan lampu-lampu perusahaan. Seperti melihat singapur dari Batam. 

Sayangnya, perhatian pemerintah agak kurang disana, berbeda dengan tiga pemukiman nelayan serupa yang terletak di Selatan Pulau Gusung. Bahkan, keberadaan 3 pemukiman tersebut baru 10 tahun yang lalu. Satu yang saya yakini bahwa inisiatif dan model kepemimpinan RT sangat berperan, kedua pendampingan memang diperlukan untuk menunjukkan how to do it. Itu juga yang "mungkin" membedakan kondisi berbeda dengan 3 pemukiman serupa dengan Pulau Gusung.

Pemukiman nelayan diats air berawal dari nelayan yang tidak kuat mendayung pulang pergi ke darat setiap hari. maklum, dulu belum ada mesin seperti yang dikenal sekarang. Bila ada juga tidak terjangkau nelayan tradisonal seperti mereka. Bermula dari pondok ukuran 2x3 meter, kemudian dua pondok berkembang menjadi 10 pondok dan menjadi sebuah RT yang dihuni antara 50-100 KK. Mereka datang dari Sulawesi Barat, satu persatu setia tahun denga status miskin karena jelas tidak punya rumah, tdaik punya pekerjaan, tidaki ada modal untuk berusaha dan tidak skill untuk bekerja diperusahaan. jadilah mereka nelayan, ya nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya modal "dengkul."

Beberapa hari makan beras raskin bersama mereka tentu tidak asing bagi saya, tapi aneh ketika 10 menit dari kampung itu berdiri perusahaan multinasional dan mereka tetap saja miskin. Apakah PNPM Peduli bisa sedikit membuka akses agar mereka lebih baik dari hari ini. Saya yakin, perusahaan sudah memberi banyak, pemerintah sudah merencakaan pembangunan, namun mungkinkan ada yang salah pada proses atau pada masyarakatnya?




Rabu, 01 Mei 2013

Si Miskin dari Tepi Hutan Kalimantan


Dalam satu pertemuan dengan seorang pejabat di Kalimantan, dia menekankan agar saya menggunakan data kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS. Sebenarnya saya mau bilang kalau saya nggak percaya data BPS. Ketika ke lapangan,  saya menemukan kampong semua KK menerima beras raskin. Satu orang berhasil saya verifikasi, rumahnya bagus karena terbuat dari beton dengan ukuran 10x8 meter, ada kendaraan roda dua dan roda empat, ada usaha, ada penghasilan tetap. Orang tersebut sampai saat ini masih menerima beras raskin.

Di tempat lain, saya juga bertemu dengan orang yang menerima beras raskin padahal punya kendaraan roda empat, punya penghasilan tetap dan usaha. Dia mengaku bahwa ada kesepakatan agar beras raskin dibagi rata untuk semua warga.

Saya jadi bingung, bagaimana BPS menentukan siapa dan dimana si miskin. Siapa yang berhak menerima beras raskin dan siapa yang tidak? Bagaimana BPS menerapkan 14 indikator yang BPS miliki, sehingga masih ada orang yang menurut saya tidak pantas di sebut si miskin.  

Di lain waktu, saya juga membaca surat kabar local yang memberitakan bahwa kantor lurah disegel warga. Awalnya saya kira sengketa lahan, ternyata sengketa raskin. Warga tidak terima namanya dicoret dari daftar penerima beras raskin. Wah, bangga ya  disebut orang miskin.

Bagaimana cara membedakan orang yang miskin dengan yang pura-pura miskin?  Ada nggak ya alat untuk mendeteksi  siapa si miskin? Terus terang, saya tidak yakin program pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan ketika masalah raskin saja secara nasional nggak bisa diselesaikan.

Sementara di tepi hutan Kalimantan yang lain, saya menemukan petani yang menghasilkan beras yang bagus,  “didiagnosa” menderita penyaki Si Miskin, mereka pun mendapat beras raskin sebagai obat pelipur lara. Warna dan rasanya nggak jelas bagi saya. Ketika saya tanya mengapa mereka mau menerima beras tersebut jawabannya sederhana, lumayan bisa  dijual dan dapat rupiah.

Menurut saya, kemiskinan ini ibarat penyakit yang akut, sudah komplikasi, penyebabnya banyak sehingga penanganannya juga harus multidimensi. Menangani masalah kemiskinan bukan hanya bicara bagaimana Si Miskin memenuhi kebutuhan berasnnya sehingga diberi beras, tapi ternyata sudah menjadi penyakit social. Rupanya “dokter” kemiskinan pemerintah belum berhasil mendiagnosa penyakit Si Miskin yang satu ini.

Dalam perjalanan saya menelusuri tepi hutan Kalimantan, kutemukan  jejak Si Miskin di mana-mana. Ada yang berada diperkebunan sawit, komunitas adat, kelompok perempuan terisolir, petani yang tidak bisa dapat pupuk, anak-anak petani yang tidak bisa melanjutkan sekolah dan petani yang “hampir” kehilangan lahannya karena tergadai di bank oleh oknum.

Parahnya lagi, penyakit Si Miskin  ada juga yang secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Di tepi hutan Kalimantan kutemukan desa yang semua wilayah desanya sudah menjadi hak guna usaha (HGU) dua perusahaan sawit. Lalu, kemana Si Miskin akan pergi?  Seorang kepala desa memberiku jawaban, “Mereka tidak akan kemana-mana.” Sementara di tepi hutan lain kuperoleh jawaban yang berbeda, “ Mereka tetap disini dan penyakit kemiskinannyaa akan diwariskan ke anak cucu mereka.”

Dalam penangangan masalah Si Miskin oleh pemerintah belum fokus menentukan siapa Si Miskin, apa penyakit yang sedang di derita Si Miskin.  Meskipun sudah ada 14 indikator, tapi dilapangan nggak dipakai. Cukup minta rekomendasi tentangga. Akibatnya satu kampong didiagnosa menderita penyakit Si Miskin. “Kan nggak enak kalau Si A tidak dimasukkan di daftar.” Salah satu ketua RT yang ketemui di tepi hutan memberiku jawaban aneh. Ada juga yang beralasan karena kesepakatan warga. Ketika kutanya apa kriterianya mereka disebut KK miskin, dia juga tidak tahu. Pantas saja pejabat tadi selalu marah-marah karena data kemiskinan tidak kompak. Data dari Pemberdayaan Masyarakat beda, PNPM Mandiri dan BPS tidak sama.

Sebenarnya kami yang membawa program PNPM Peduli memiliki alat deteksi yang cukup baik. Lebih  sederhana dan aplikatif, mudah digunakan dan menggunakan tenologi tepat guna. Beberapa teman yang ikut mendengar cerita dan derita Si Miskin mencoba meramu alat deteksi ini. Alat tersebut disebut PPAM (Partisipatory Poverty Assesment and Monitoring). Alat ini perpaduan dari beberapa alat yang sudah digunakan sebelumnya. Alat ini bisa mendektiisi siapa dan dimana Si Miskin. Sayangnya, pihak yang berwenang belum tertarik untuk menggunakan alat ini, padahal gratis. Kalau dijual mungkin mereka mau ya?


Selasa, 30 April 2013

Gangguan Penonton


Suburia. Aku mengenalnya sekitar tahun 2009, saat itu aku sedang memberikan pelatihan pembibitan mangrove pada kelompok laki-laki di kampung dia. Awalnya,  saya agak terganggu dengan dia dan belasan ibu-ibu yang "menonton" kami dari celah jendela masjid tempat pelatihan berlangsung. Begitu banyak mata yang mengintip dari lubang-lubang jendela. Rasannya risih. Saya tak ingin terganggu lebih lama sehingga kuputuskan untuk menghampiri mereka. Saya keluar masjid bermaksud meminta mereka masuk sekalian, menjadi peserta resmi, tidak "ilegel." Begitu kubuka pintu dan melongok keluar, tak seorangpun nampak. Kemana mereka ya? Sempat bingung dibuatnya. Aku kembali memberikan materi dan berselang 10 menit kemudian, mata-mata itu kembali mengintip dari balik jendela masjid tua itu. Ini nggak bisa dibairin batinku. Saya harus melakukan sesuatu agar gangguan ini berhenti dan saya dapat lebih konsentrasi lagi memberikan materi. Saya memberikan tugas kelompok pada peserta dan harus diselesaikan dalam waktu 15 menit. Saya cukup punya waktu untuk berfikir bagaimana cara mentagsai gangguan mata-mata dibalik jendela itu. Aku pura-pura memimnta seorang peserta untuk membuka semua pintu masjid agar udara segar bisa masuk. Kalau semua pintu terbuka kufikir lebih mudah menjebak mereka dan "tidak menghilang" seperti kejadian pertama. Benar saja, kulihat mereka satu persatu muncul dan mulai mengambil posisi di jendela, mulai mengntip lagi. Saya yang duduk dipinggir pintu siap beraksi dan aha! Seorang ibu-ibu dan anak perempuan yang masih mudah berhasil kujebak. mereka tidak bisa lari, mereka agak kaget. "Maaf Bu. Saya tidak bermaksud mengagetkan. Hanya ingin menyapa." Mereka masih terdiam, seribu bahasa. Tangan anak perempuan itu memainkan sarung yang mereka biasa gunakan. Belakangan kuketahui dia bernama Suburia. "Kenapa ibu mengintip? Kenapa nggak masuk saja" Saya mencoba membangun komunikasi. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Bahkan, lebih memilih menutup mulut mereka dengan sarung kumal yang mereka rata-rata gunakan. Tak lama, dua orang ibu lain datang dan tiga orang lagi sampai mereka terkumpul dengan julah sepuluh orang. Wah, banyak juga, sekarang saya yang takut. Seorang ibu yang datang terkahir nampak lebih berani dan bertanya. "Ada apa Pak" Dia terlihat lebih berpendidikan atau lebih tepatnya lebih berani dan tidak pemalu seperti yang lain. "Nggak apa-apa Bu. Saya hanya penasaran, soalnya dari tadi ibu-ibu disini hanya menonton kami yang sedang pelatihan. "Lho, memangngnya dilarang ya Pak? Aduh, salah bicara apa saya ya. Ibu ini sepertinya keritis juga dan agak galak. "Oh, tentu saja tidak dilarang, bahkan tadi saya sempat minta ibu-ibu ini masuk ke dalam masjid saja, sekalian biar nggak capek berdiri." Kucoba memberikan jawaban yang aman. "O, begitu ya. Sebenarnya kami hanya mau melihat saaja. Bapak-bapaknya bikin apa di sini. Soalnya kami tidak pernah lihat yang begini." 

Waktu 15 menit yang kuberikan kepada peserta pelatihan tidak terasa sudah habis. Seorang peserta mendatangi saya dan mengingatkan bahwa mereka sudah selesai mengerjakan tugas kelompok. Kali ini Suburia angkat bicara."Kami belum pernah dilatih kayak bapak-bapaknya Pak." Oke, saya sudah faham kondisinya. Kuputuskan untuk masuk ke ruang pelatihan dan meminta agar ibu-ibunya tetap menonton dan berjanjii akan memberikan kotakan. Kotakan merupakan sebutan untuk konsumsi yang berisi kue dan teh kotak. Saya kemudian menyampaikan materi yang saya hubungkan dengan perlunya melibatkan perempuan dalam kegiatan-kegiatan di kampung, termasuk pelatihan-pelatihan. Materi seperti ini tidak perlu persiapan khusus. Saya hanya mengambangkan materi yang sudah ada. Alhasil, bapak-bapaknya merespon baik dan peserta kemudian kuminta membuat tugas kelompok lagi tentang pembagian tugas dalam melakukan pembibitan mangrove. Mangrove adalah habitat tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau di laut. Dibeberapa daerah lebih dikenal dengan sebutan bakau. 

Sementara laki-laki mengerjakan tugas, saya kemudian keluar masjid, menghampiri mereka yang masih mennonton. Kali ini mereka tidak lari, bahkan mendekat. Soalnya saya sudah membawa sepuluh kotakan. Kubagikan satu persatu dan ups, ternyata kurang. Ternyata ada lima orang tambahan lagi. Kacau nih, kuminta mereka bersabar dan mengambilkan lima kotak lagi. Saya meminta mereka bertahan sejenak sambil menikmati hidangan kotakan yang kubagikan sambil berdiskusi. Intinya mereka tidak ada kelompok, belum ada pelatihan dan pembinaan kecuali pos yandu. Lima belas menit keduapun berlalu, seorang peserta mendatangi saya kembali dan melaporkan bahwa tugas kelompok telah selesai dan menunggu perintah selanjutnya. Saya meminta satu orang yang galak tadi untuk mencatat nama-nama mereka dan kufikir mereka harus diberikan pendampingan satu hari nanti.

Cukup lama waktu berlalu, saya hampir lupa dengan mereka sampai satu saat KBCF memintaku  membuat program untuk kelompok marjinal. Saya langsung teringat dengan mereka, kucari secarik kertas yang beirisi jumlah dan nama-nama mereka. Masih tertempel di ruang kerja saya. Agak berdebuh dan lusuh, maklum sudah dua tahun kertas itu menanti untuk diambil dan diketik dalam proposal pendmapingan yang pernah kujanjikan. 

Ya, itulah cerita mengapa bagaimana kuetemukan Suburia dan puluhan perempuan lain di Tekasalo, salah satu lokasi dampingan program PNPM Peduli di Kalimantan Timur. Mereka tinggal di perkampungan yang terpisah dari darat, akses keluar hanya lewat laut dengan perahu kecil yang disebut ketinting. Meraka hampir tidak tersentuh, bilapun ada program pembangunan yang masuk hanya ala kadarnya, nggak serius.

Singkat cerita, kondisi sekarang sudah jauh lebih baik, mereka sudah memiliki kelompok, mereka sudah mulai menjalankan usaha, beberapa diantara meraka sudah berani menguatarakan pendapatnya, sudah terlibat dalam proses perencanaan pembangunan dan mereka sudah menjadi nara sumber dan sumber inspirasi bagi banyak perempuan di Bontang. Pemerintah lebih serius dan lebih sering datang menemui mereka. Suburia dengan puluahn perempuan lain di Tekasalo bisa jadi masih disebut miskin karena masih diberikan beras raskin, tapi dia dan puluahan perempuan lain sudah merasa lebih percaya diri. Bahkan kelompok laki-laki yang dulu dilatih pembibitan mangrove kalah pamor dari kelompok perempuan. Mungkin mereka masih miskin untuk beberapa tahun kemudian, tapi mereka sudah punya peluang untuk keluar dari jurang kemiskinan.


Kampung Wisata yang "mungkin" Tergadai

Mancong dan Perigiq, dua desa yang baru saja aku kunjungi untuk assesment program PNPM Peduli. Empat hari disana seperti sedang berwisata. Maklum, aku baru tahu kalau desa itu salah satu tujuan wisata di Kaltim. Disana terdapat Danau Jempang dan rumah adat yang disebut  Lamin. Ketika aku diskusi dengan beberapa warga setempat kau baru teringat kalau lokasi ini beberapa kalai diliput tv nasional. Tapi yang ironis ketika hutan dan lahan masyarakat dayak disana semakin banyak yang dijadikan sawit dan tambang, apakah desa wisata akan tetap ada? Aku memang belum lihat datanya, tapi berdasarkan infromasi dari Petinggi Kampung, sebutan untuk kepala desa di sana bahwa semua wilayah desa mereka sudah masuk dalam wilayah HGU (hak guna usaha) perusahaan sawit. Ha..! Aku kaget seakan tak percaya. Terus mereka akan kemana? Ladang padi dan kebun karet bagamiana? "Ya, tidak kemana-mana." Terang petinggi desa itu.

Kemiskinan: Ditularkan atau Diwariskan?

"Orang sini sabarataan miskin sumua Pak! Kalau orangtuanya miskin, anaknya juga miskin." Itulah sepenggal kalimat yang cukup menarik bagi saya dalam diskusi dengan Kepala Desa Bakungin. tempat dan asalnya tidak penting bagiku, tapi pernyataan itu bisa jadi kondisi sebenarnya terjadi di banyak tempat. Desa Bakungin dihuni oleh suku Banjar. Sabarataan artinya seluruhnya atau semunya. Desa ini terletak di pinggir Sungai Kapuas, Kecamatan Kapuas Hilir Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.

Mereka sudah pasrah dengan kondisi mereka. Yang penting ada yang bisa dimakan hari ini. Mungkin karena pasrah itu membentuk keyakinan mereka bahwa sampai kapanpun mereka, anak dan cucu mereka akan miskin. Benar saja, ketika aku cek kondisi rumah sudah ditempati puluhan tahun belum pernah ada perbaikan, atap bocor, lantai rapuh, kalau pasang, rumah mereka yang dipinggir sungai akan terendam. Banyak diantara mereka yang tidak melanjutkan sekolah, bahkan anak perempuan lebih aman dikawinkan segera setelah lulus SMP. Benarkah kemiskinan itu bisa menular? Atau diwariskan?