Rabu, 01 Mei 2013

Si Miskin dari Tepi Hutan Kalimantan


Dalam satu pertemuan dengan seorang pejabat di Kalimantan, dia menekankan agar saya menggunakan data kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS. Sebenarnya saya mau bilang kalau saya nggak percaya data BPS. Ketika ke lapangan,  saya menemukan kampong semua KK menerima beras raskin. Satu orang berhasil saya verifikasi, rumahnya bagus karena terbuat dari beton dengan ukuran 10x8 meter, ada kendaraan roda dua dan roda empat, ada usaha, ada penghasilan tetap. Orang tersebut sampai saat ini masih menerima beras raskin.

Di tempat lain, saya juga bertemu dengan orang yang menerima beras raskin padahal punya kendaraan roda empat, punya penghasilan tetap dan usaha. Dia mengaku bahwa ada kesepakatan agar beras raskin dibagi rata untuk semua warga.

Saya jadi bingung, bagaimana BPS menentukan siapa dan dimana si miskin. Siapa yang berhak menerima beras raskin dan siapa yang tidak? Bagaimana BPS menerapkan 14 indikator yang BPS miliki, sehingga masih ada orang yang menurut saya tidak pantas di sebut si miskin.  

Di lain waktu, saya juga membaca surat kabar local yang memberitakan bahwa kantor lurah disegel warga. Awalnya saya kira sengketa lahan, ternyata sengketa raskin. Warga tidak terima namanya dicoret dari daftar penerima beras raskin. Wah, bangga ya  disebut orang miskin.

Bagaimana cara membedakan orang yang miskin dengan yang pura-pura miskin?  Ada nggak ya alat untuk mendeteksi  siapa si miskin? Terus terang, saya tidak yakin program pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan ketika masalah raskin saja secara nasional nggak bisa diselesaikan.

Sementara di tepi hutan Kalimantan yang lain, saya menemukan petani yang menghasilkan beras yang bagus,  “didiagnosa” menderita penyaki Si Miskin, mereka pun mendapat beras raskin sebagai obat pelipur lara. Warna dan rasanya nggak jelas bagi saya. Ketika saya tanya mengapa mereka mau menerima beras tersebut jawabannya sederhana, lumayan bisa  dijual dan dapat rupiah.

Menurut saya, kemiskinan ini ibarat penyakit yang akut, sudah komplikasi, penyebabnya banyak sehingga penanganannya juga harus multidimensi. Menangani masalah kemiskinan bukan hanya bicara bagaimana Si Miskin memenuhi kebutuhan berasnnya sehingga diberi beras, tapi ternyata sudah menjadi penyakit social. Rupanya “dokter” kemiskinan pemerintah belum berhasil mendiagnosa penyakit Si Miskin yang satu ini.

Dalam perjalanan saya menelusuri tepi hutan Kalimantan, kutemukan  jejak Si Miskin di mana-mana. Ada yang berada diperkebunan sawit, komunitas adat, kelompok perempuan terisolir, petani yang tidak bisa dapat pupuk, anak-anak petani yang tidak bisa melanjutkan sekolah dan petani yang “hampir” kehilangan lahannya karena tergadai di bank oleh oknum.

Parahnya lagi, penyakit Si Miskin  ada juga yang secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Di tepi hutan Kalimantan kutemukan desa yang semua wilayah desanya sudah menjadi hak guna usaha (HGU) dua perusahaan sawit. Lalu, kemana Si Miskin akan pergi?  Seorang kepala desa memberiku jawaban, “Mereka tidak akan kemana-mana.” Sementara di tepi hutan lain kuperoleh jawaban yang berbeda, “ Mereka tetap disini dan penyakit kemiskinannyaa akan diwariskan ke anak cucu mereka.”

Dalam penangangan masalah Si Miskin oleh pemerintah belum fokus menentukan siapa Si Miskin, apa penyakit yang sedang di derita Si Miskin.  Meskipun sudah ada 14 indikator, tapi dilapangan nggak dipakai. Cukup minta rekomendasi tentangga. Akibatnya satu kampong didiagnosa menderita penyakit Si Miskin. “Kan nggak enak kalau Si A tidak dimasukkan di daftar.” Salah satu ketua RT yang ketemui di tepi hutan memberiku jawaban aneh. Ada juga yang beralasan karena kesepakatan warga. Ketika kutanya apa kriterianya mereka disebut KK miskin, dia juga tidak tahu. Pantas saja pejabat tadi selalu marah-marah karena data kemiskinan tidak kompak. Data dari Pemberdayaan Masyarakat beda, PNPM Mandiri dan BPS tidak sama.

Sebenarnya kami yang membawa program PNPM Peduli memiliki alat deteksi yang cukup baik. Lebih  sederhana dan aplikatif, mudah digunakan dan menggunakan tenologi tepat guna. Beberapa teman yang ikut mendengar cerita dan derita Si Miskin mencoba meramu alat deteksi ini. Alat tersebut disebut PPAM (Partisipatory Poverty Assesment and Monitoring). Alat ini perpaduan dari beberapa alat yang sudah digunakan sebelumnya. Alat ini bisa mendektiisi siapa dan dimana Si Miskin. Sayangnya, pihak yang berwenang belum tertarik untuk menggunakan alat ini, padahal gratis. Kalau dijual mungkin mereka mau ya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar