Pesona di 450
Ini kali kedua aku berkunjung ke desa ini, Desa Hinas Kanan. Desa
yang terletak di kaki Gunung Meratus Kalimantan
Selatan ini ternyata menyembunyikan sejuta pesona. Program hutan desa memberiku
kesempatan untuk menemukan surga yang terkikis zaman. Program ini bukan hanya
menjanjikan hutan lestari tapi juga rupiah. Hutan Desa salah satu program
pemerintah untuk ijin 35 tahun kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar hutan.
Aku beruntung dapat membantu masyarakat menyusun perencanaan
pengelolaan hutan desa. Mereka telah
mendapat ijin menteri kehutanan setahun lalu. Bukan apa-apa, pendampingan masih
diperlukan untuk memenuhi sejumlah syarat
untuk memperolah ijin gubernur. Bahkan,
setelah ijin tersebut diperoleh, masyarakat masih memerlukan keterampilan mengelolah hutan secara lestari.
Kebetulan lembagaku memper oleh dukungan dari Kemitraan melalui forest governace program.
Setelah menempuh perjalanan 9 jam dari Banjarmasin kami tiba di
rumah Pak Midu, tempat kami bermalam. Dia mantan pembakal, sebutan untuk kepala
desa yang mempelopori usulan hutan desa sejak 2009.
Kali ini aku datang untuk sosialisasi hutan desa kepada masyarakat
yang tinggal di empat balai. Di Desa Hinas Kanan terdapat 5 balai, yaitu balai
Panyatnyan Agung Mula Ada yang terletak di pusat desa. Di balai ini terdapat
dua RT, yaitu RT 1 dan RT 2. Sementara lainnya yang tepisah adalah balai balai
Aniangau atau Munjal Pagat di RT 3, balai Sungai Bumbung di RT 4 dan balai
Sungai Kiting di RT 5.
Balai adalah istilah yang digunakan untuk menamakan lokasi pemukiman.
Pada setiap lokasi tersebut mereka membangun balai yang akan digunakan untuk upacara
adat yang disebut aruh. Upacara adat aruh adalah kegiatan masyarakat Dayak
Hinas Kanan yang berkenaan dengan berladang padi. Aruh dilakukan tiga kali
setahun dimana aru yang dilakukan pada bulan Oktober di sebut aruh manugal. Aruh ini dilakukan pada saat menanam bibit. Kemudian bulan Februari
dilakukan aruh bapalas dengan tujuan
….. Sementara itu aruh pisit yang dilakukan
pada Juli merupakan aruh yang dilakukan setelah panen padi. Bapalas dimaksudkan
sebagai bentuk syukur karena adanya padi yang telah dijadikan beras dan siap
dimakan.
Sosialisasi terpaksa aku lakukan karena jarak antar empat balai itu
sangat jauh dan hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama dua jam. Selama
ini, sosialisasi hutan desa hanya di lakukan di pusat desa. Mereka hampir tak
terjangkau. Sebenarnya, sepeda motor dapat digunakan pada musim kering namun
tetap saja beresiko kecelakaan. Baru-baru ini seorang warga melintas dan jatuh
ke jurang, kaki kirinyapun patah. Saat melintasi jalan antar balai tersebut aku
sempat khawatir karena harus melewati tanjakan dengan kemiringan 450 selama satu jam. Pada puncak tanjakan aku
menemukan pemukiman pertama yang disebut Limbuung. Aku sempat mencatat 16 KK
yang hidup dari kebun karet. Untuk sampai di Limbuung, aku melewati sungai kecil yang memilki kolam.
Mereka menyebutnya batu Sudain. Dua
ratus meter kemudian aku melewati air terjun Meranin sebelum mulai melintasi jalan setapak yang aku sebut
tanjakan Limbuung. Menurut Pak Amar
dan Pak Hadi ketua lembaga pengelolah hutan desa, Limbuung sudah masuk dalam
areal hutan desa.
Di sana aku bertemu Darsani yang bercerita tentang rencana desa
tetangga untuk mengusulkan hutan desa. Menurutnya, program hutan desa akan menarik baginya bila ada manfaat langsung
seperti berkebun dan pemanfaatan kayu. Lainnya halnya dengan Siah yang tinggal
di balai Lukuran, tujuanku selanjutnya. Perempuan yang berposter badan gemuk
ini lebih kritis. Menurutnya, hutan desa akan bagus kalau bisa membuat
kampungnya terang dengan jalan yang diaspal seperti di kota.
Bukan apa-apa, hingga kini lampu dan jalan menjadi dambaan mereka
sejak dulu. Mereka berharap dengan hutan desa, mimpi mereka akan terwujud.
Selama berada di desa ini, aku sendiri kehilangan kontak karena tidak ada
jaringan telepon seluler. Bertuntung ada satu bukit dengan pemandangan kebun
karet yang berjejer dan memenuhi perbukitan aku mendapat jaringan. Kesempatan
itu tak aku sia-siakan untuk mengubungi keluarga, sekadar menanyakan kondisi
mereka. Bukit itu kemudian aku namai bukit signal.
Tanjakan yang tiada henti tak membuatku gentar, aku ingin sampaikan
salam hutan desa kepada mereka yang jauh diatas gunung. Pemadangan yang elok
membuatku lupa akan tanjakan 450 yang selalu ketemui setiap perjalan
100 meter. Bahkan, aku menemukan sebuah bukit cinta. Di bukit ini aku melihat
petani menanam padi dilereng bukit dengan kemiringan sampai 450.
Bukit cinta tersebut dikelilingan pohon karet dengan ladang padi di tengahnya
membentuk hati. Pesona hutan desa Hinas Kanan tak behenti, aku selalu
mendapatkan kejutan. Perjalan menurun setelah mendaki membawaku sampai di Balai
Batu Kiting, pemukiman yang paling ujung dari desa ini.
Aku sempat kecewa karena tak menemukan siapapun untuk aku ajak
ngobrol tentang hutan desa. Masyarakat desa ini perempuan dan laki-laki, bahkan
anak-anak mereka bawa ke ladang padi dan kebun karet. Siang dan tak jarang
menjelang malam baru kembali ke rumah.
Rasa kecewaku mendadak sirna ketika kudapati sungai dengan bebatuan
dan air yang jernih, mengalir dengan desirannya yang tercipta dari riam-riam
kecil. Sungai itu yang terbesar yang pernah aku temui sejak berada di desa ini.
Meskipun tak dalam tetapi cukup lebar yang mencapai separoh lapangan bola.
Sejurus kemudian aku sudah berada di tengah sungai. Memainkan batu
dan air seperti anak kecil. Ya, begitulah adanya. Aku tinggal di pesisir
sehingga hanya bertemu pantai dengan pasir putih dan sudah sepuluh tahun tak
pernah bertemu dengan air nan jernih. Sungai ini melintasi hutan desa dan akan
bermuara di Berabai, ibu kota kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dari bukit cinta, sungai sudah terlihat dari
jarak 1 km dari atas bukit dengan pesonanya.
Lagi lagi aku diberi kejutan. Aku melihat sebongkah batu yang
berwarna merah. Disekitar batu itu ada kolam yang cukup dalam sementara
disekitarnya digenagi air selutut yang berlantai batu kali beraneka bentuk,
cantik sekali. Samlah, isteri (almarhum) Pak Midu, menuturkan bahwa batu itu
disebut batu kiting yang berarti anak anjing. Pemberian nama itu bukan tanpa
alasan. Dulu, dikisahkan seekor anjing dikutuk menjadi batu oleh Sumali karena
tidak menghiraukan panggilannya. Sumali adalah orang gaib, salah satu penguasa
Meratus.
Benar saja, bila diperhatikan maka batu itu mirip seekor anak anjing.
Sementara itu, masyarakat setempat yang melihat foto hasil jempretan seorang
teman yang dipajang di balai desa baru mengetahui bila batu yang mereka
sebut batu kiting atau batu anak anjing
tersebut memang mirip anak anjing.
Topografi desa Hinas Kanan yang berbatu dan berbukit terletak
disebelah barat pengunangan Meratus yang terbentang dari selatan sampai utara. Hutan
desa terletak disebelah Utara desa memang menyimpan sejuta pesona. Di dalam hutan
desa terdapat beberapa air terjun, Rampah Tarawih salah satunya. Rampah dalam
bahasa Dayak di Hinas Kanan berarti air terjun. Melalui program hutan desa, di
lokasi air terjun tersebut akan dibangun hidro micro untuk penerangan. Sementara
itu, melalui program ini potensi air terjun dan pemadangan eksotik lainnya akan
dijadikan paket wisata pada pelasanaan aru.
Perjalananku untuk sampaikan kabar hutan desa kepada mereka digunung
nun jauh dari pusat desa tak sia-sia. 10
dari dari 12 orang yang kutemui disana sudah mengetahui keberadaan program ini
di desa mereka. Kendati demikian, mereka belum percaya program ini lampu dari
hidromikro hutan desa menerangi rumah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar