Rabu, 29 Januari 2014

Pesona di 45 Derajat


Pesona di 450

Ini kali kedua aku berkunjung ke desa ini, Desa Hinas Kanan. Desa yang terletak di kaki Gunung Meratus  Kalimantan Selatan ini ternyata menyembunyikan sejuta pesona. Program hutan desa memberiku kesempatan untuk menemukan surga yang terkikis zaman. Program ini bukan hanya menjanjikan hutan lestari tapi juga rupiah. Hutan Desa salah satu program pemerintah untuk ijin 35 tahun kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Aku beruntung dapat membantu masyarakat menyusun perencanaan pengelolaan hutan desa.  Mereka telah mendapat ijin menteri kehutanan setahun lalu. Bukan apa-apa, pendampingan masih diperlukan untuk memenuhi sejumlah syarat  untuk memperolah ijin gubernur.  Bahkan, setelah ijin tersebut diperoleh, masyarakat masih memerlukan  keterampilan mengelolah hutan secara lestari. Kebetulan lembagaku memper oleh dukungan dari Kemitraan melalui forest governace program.

Setelah menempuh perjalanan 9 jam dari Banjarmasin kami tiba di rumah Pak Midu, tempat kami bermalam. Dia mantan pembakal, sebutan untuk kepala desa yang mempelopori usulan hutan desa sejak 2009.

Kali ini aku datang untuk sosialisasi hutan desa kepada masyarakat yang tinggal di empat balai. Di Desa Hinas Kanan terdapat 5 balai, yaitu balai Panyatnyan Agung Mula Ada yang terletak di pusat desa. Di balai ini terdapat dua RT, yaitu RT 1 dan RT 2. Sementara lainnya yang tepisah adalah balai balai Aniangau atau Munjal Pagat di RT 3, balai Sungai Bumbung di RT 4 dan balai Sungai Kiting di RT 5.

Balai adalah istilah yang digunakan untuk menamakan lokasi pemukiman. Pada setiap lokasi tersebut mereka membangun balai yang akan digunakan untuk upacara adat yang disebut aruh. Upacara adat aruh adalah kegiatan masyarakat Dayak Hinas Kanan yang berkenaan dengan berladang padi. Aruh dilakukan tiga kali setahun dimana aru yang dilakukan pada bulan Oktober di sebut aruh manugal. Aruh ini dilakukan pada saat menanam bibit. Kemudian bulan Februari dilakukan aruh bapalas dengan tujuan ….. Sementara itu aruh pisit yang dilakukan pada Juli merupakan aruh yang dilakukan setelah panen padi. Bapalas dimaksudkan sebagai bentuk syukur karena adanya padi yang telah dijadikan beras dan siap dimakan.

Sosialisasi terpaksa aku lakukan karena jarak antar empat balai itu sangat jauh dan hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama dua jam. Selama ini, sosialisasi hutan desa hanya di lakukan di pusat desa. Mereka hampir tak terjangkau. Sebenarnya, sepeda motor dapat digunakan pada musim kering namun tetap saja beresiko kecelakaan. Baru-baru ini seorang warga melintas dan jatuh ke jurang, kaki kirinyapun patah. Saat melintasi jalan antar balai tersebut aku sempat khawatir karena harus melewati tanjakan dengan kemiringan 450   selama satu jam. Pada puncak tanjakan aku menemukan pemukiman pertama yang disebut Limbuung. Aku sempat mencatat 16 KK yang hidup dari kebun karet. Untuk sampai di Limbuung, aku  melewati sungai kecil yang memilki kolam. Mereka menyebutnya batu Sudain. Dua ratus meter kemudian aku melewati air terjun Meranin sebelum mulai melintasi jalan setapak yang aku sebut tanjakan Limbuung. Menurut Pak Amar dan Pak Hadi ketua lembaga pengelolah hutan desa, Limbuung sudah masuk dalam areal hutan desa.

Di sana aku bertemu Darsani yang bercerita tentang rencana desa tetangga untuk mengusulkan hutan desa. Menurutnya, program hutan desa  akan menarik baginya bila ada manfaat langsung seperti berkebun dan pemanfaatan kayu. Lainnya halnya dengan Siah yang tinggal di balai Lukuran, tujuanku selanjutnya. Perempuan yang berposter badan gemuk ini lebih kritis. Menurutnya, hutan desa akan bagus kalau bisa membuat kampungnya terang dengan jalan yang diaspal seperti di kota.

Bukan apa-apa, hingga kini lampu dan jalan menjadi dambaan mereka sejak dulu. Mereka berharap dengan hutan desa, mimpi mereka akan terwujud. Selama berada di desa ini, aku sendiri kehilangan kontak karena tidak ada jaringan telepon seluler. Bertuntung ada satu bukit dengan pemandangan kebun karet yang berjejer dan memenuhi perbukitan aku mendapat jaringan. Kesempatan itu tak aku sia-siakan untuk mengubungi keluarga, sekadar menanyakan kondisi mereka. Bukit itu kemudian aku namai bukit signal. 

Tanjakan yang tiada henti tak membuatku gentar, aku ingin sampaikan salam hutan desa kepada mereka yang jauh diatas gunung. Pemadangan yang elok membuatku lupa akan tanjakan 450 yang selalu ketemui setiap perjalan 100 meter. Bahkan, aku menemukan sebuah bukit cinta. Di bukit ini aku melihat petani menanam padi dilereng bukit dengan kemiringan sampai 450. Bukit cinta tersebut dikelilingan pohon karet dengan ladang padi di tengahnya membentuk hati. Pesona hutan desa Hinas Kanan tak behenti, aku selalu mendapatkan kejutan. Perjalan menurun setelah mendaki membawaku sampai di Balai Batu Kiting, pemukiman yang paling ujung dari desa ini.

Aku sempat kecewa karena tak menemukan siapapun untuk aku ajak ngobrol tentang hutan desa. Masyarakat desa ini perempuan dan laki-laki, bahkan anak-anak mereka bawa ke ladang padi dan kebun karet. Siang dan tak jarang menjelang malam baru kembali ke rumah.

Rasa kecewaku mendadak sirna ketika kudapati sungai dengan bebatuan dan air yang jernih, mengalir dengan desirannya yang tercipta dari riam-riam kecil. Sungai itu yang terbesar yang pernah aku temui sejak berada di desa ini. Meskipun tak dalam tetapi cukup lebar yang mencapai separoh lapangan bola.

Sejurus kemudian aku sudah berada di tengah sungai. Memainkan batu dan air seperti anak kecil. Ya, begitulah adanya. Aku tinggal di pesisir sehingga hanya bertemu pantai dengan pasir putih dan sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu dengan air nan jernih. Sungai ini melintasi hutan desa dan akan bermuara di Berabai, ibu kota kabupaten Hulu Sungai Tengah.  Dari bukit cinta, sungai sudah terlihat dari jarak 1 km dari atas bukit dengan pesonanya.

Lagi lagi aku diberi kejutan. Aku melihat sebongkah batu yang berwarna merah. Disekitar batu itu ada kolam yang cukup dalam sementara disekitarnya digenagi air selutut yang berlantai batu kali beraneka bentuk, cantik sekali. Samlah, isteri (almarhum) Pak Midu, menuturkan bahwa batu itu disebut batu kiting yang berarti anak anjing. Pemberian nama itu bukan tanpa alasan. Dulu, dikisahkan seekor anjing dikutuk menjadi batu oleh Sumali karena tidak menghiraukan panggilannya. Sumali adalah orang gaib, salah satu penguasa Meratus.

Benar saja, bila diperhatikan maka batu itu mirip seekor anak anjing. Sementara itu, masyarakat setempat yang melihat foto hasil jempretan seorang teman yang dipajang di balai desa baru mengetahui bila batu yang mereka sebut  batu kiting atau batu anak anjing tersebut memang mirip anak anjing.

Topografi desa Hinas Kanan yang berbatu dan berbukit terletak disebelah barat pengunangan Meratus yang terbentang dari selatan sampai utara. Hutan desa terletak disebelah Utara desa memang menyimpan sejuta pesona. Di dalam hutan desa terdapat beberapa air terjun, Rampah Tarawih salah satunya. Rampah dalam bahasa Dayak di Hinas Kanan berarti air terjun. Melalui program hutan desa, di lokasi air terjun tersebut akan dibangun hidro micro untuk penerangan. Sementara itu, melalui program ini potensi air terjun dan pemadangan eksotik lainnya akan dijadikan paket wisata pada pelasanaan aru.

Perjalananku untuk sampaikan kabar hutan desa kepada mereka digunung nun jauh dari  pusat desa tak sia-sia. 10 dari dari 12 orang yang kutemui disana sudah mengetahui keberadaan program ini di desa mereka. Kendati demikian, mereka belum percaya program ini lampu dari hidromikro hutan desa menerangi rumah mereka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar