"Pak. Saya mau ke belakang." Kampung tengah terasa ingin mengeluarkan sesuatu. Bingung mencari kamar kecil, keringat dingin sudah membasahi wajahku sampai kuputuskan bertanya pada pemilik rumah. "Ini cangkulnya, ke kebun saja Nak." Oh, Tuhan, masak kita mau ke kemar kecil malah disuruh nyangkul.
Dilain waktu, disebuah pemukiman nelayan. Serangan di kampung tengah datang lagi. "Maaf Bu. Saya mau ke kamar kecil." Sang ibupun menunjuk ke arah bilik yang tak berpintu. Aduh, bagaimana ini! Kan malu mau jongkok tapi ibu ada di dapur, bakal kelihatan. Terus, kan nggak enak dengan suara bomnya nanti, nggak ada perangkat silent atau getar saja. Masyarakat di kampung nelayan tersebut belum ada yang punya jamban berseptiktank, apalagi bersertifikat, hanya wc cemplung.
"Bu, ada tamu diluar. Penting mau ketemu ibu." Aku mendapat ide agar dia pergi dari depan bilik tempat aku jongkok. Sang ibupun bergegas, bermaksud menemui Sang tamu karanganku. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Beruntung, rumahnya agak panjang sehingga waktu kurasa cukup untuk bongkar muatan. Tak lama Sang ibu muncul dan sedikit mengomel karena tamu yang dimaksud tidak dia dapatkan. "Mungkin keburu pulang Bu." Aku menghiburnya.
"O, ada tamu ya. Tadi kirain siapa yang lagi bongkar muatan." Aku dikejutkan suara Pak RT dari bawah. Dia sedang mandi dengan air laut sebelum membilas badan dengan air tawar. Mereka harus berhemat air karena sulit mempereolehnya. "Ya Pak. Saya numpang bongkar Pak. Sudah penuh nih. Maaf ya Pak." Aduh, aku berhasil mengelabui Sang Ibu, eh malah Sang bapak ada dibawah. Kena' deh.
Dua peristiwa itu terjadi disaat aku melakukan assesment PNPM Peduli di Kalimantan. Bila di kereta api aku pernah lihat orang bawa kursi atau koran untuk duduk karena tidak dapat kursi, mungkin saya akan bawa jamban ke sana, saat assesmen karena nggak ada jamban. Mau bongkar muatan aja susah nian, sampai harus menunggu malam gelap. Lah, mereka ketika mau melakukan ceremoni itu santai banget. Datang, duduk langsung selesai, pergi bawa cangkul, gali lubang, jongkok lalu tutup lagi, selesai.
Ada banyak cara mereka membongkar muatan karena tidak punya jamban keluarga ataupun wc umum. Ada yang pake keresek baru lempar, adapula yang pake jongkok di kebun pisang sambil berlari karena muatan takut disambar bebek. Kalau yang disambar muatan hasil bongkaran nggak sampai masuk rumah sakit tapi kalau yang lain?
Wah, tidak kebayang kalau presiden yang pesawatnya harus mendarat darurat di kebun sawit dan mau bongkar muatan tapi diberi cangkul seperti saya. Pasti sesampainya di istana langsung keluar instruksi untuk pembuatan program 1 milyar jamban untuk KK miskin. Tapi kalau nggak ada presiden yang mendarat darurat minimal sudah masuk program PNPM Peduli lah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar