Suburia. Aku mengenalnya sekitar tahun 2009, saat itu aku sedang memberikan pelatihan pembibitan mangrove pada kelompok laki-laki di kampung dia. Awalnya, saya agak terganggu dengan dia dan belasan ibu-ibu yang "menonton" kami dari celah jendela masjid tempat pelatihan berlangsung. Begitu banyak mata yang mengintip dari lubang-lubang jendela. Rasannya risih. Saya tak ingin terganggu lebih lama sehingga kuputuskan untuk menghampiri mereka. Saya keluar masjid bermaksud meminta mereka masuk sekalian, menjadi peserta resmi, tidak "ilegel." Begitu kubuka pintu dan melongok keluar, tak seorangpun nampak. Kemana mereka ya? Sempat bingung dibuatnya. Aku kembali memberikan materi dan berselang 10 menit kemudian, mata-mata itu kembali mengintip dari balik jendela masjid tua itu. Ini nggak bisa dibairin batinku. Saya harus melakukan sesuatu agar gangguan ini berhenti dan saya dapat lebih konsentrasi lagi memberikan materi. Saya memberikan tugas kelompok pada peserta dan harus diselesaikan dalam waktu 15 menit. Saya cukup punya waktu untuk berfikir bagaimana cara mentagsai gangguan mata-mata dibalik jendela itu. Aku pura-pura memimnta seorang peserta untuk membuka semua pintu masjid agar udara segar bisa masuk. Kalau semua pintu terbuka kufikir lebih mudah menjebak mereka dan "tidak menghilang" seperti kejadian pertama. Benar saja, kulihat mereka satu persatu muncul dan mulai mengambil posisi di jendela, mulai mengntip lagi. Saya yang duduk dipinggir pintu siap beraksi dan aha! Seorang ibu-ibu dan anak perempuan yang masih mudah berhasil kujebak. mereka tidak bisa lari, mereka agak kaget. "Maaf Bu. Saya tidak bermaksud mengagetkan. Hanya ingin menyapa." Mereka masih terdiam, seribu bahasa. Tangan anak perempuan itu memainkan sarung yang mereka biasa gunakan. Belakangan kuketahui dia bernama Suburia. "Kenapa ibu mengintip? Kenapa nggak masuk saja" Saya mencoba membangun komunikasi. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Bahkan, lebih memilih menutup mulut mereka dengan sarung kumal yang mereka rata-rata gunakan. Tak lama, dua orang ibu lain datang dan tiga orang lagi sampai mereka terkumpul dengan julah sepuluh orang. Wah, banyak juga, sekarang saya yang takut. Seorang ibu yang datang terkahir nampak lebih berani dan bertanya. "Ada apa Pak" Dia terlihat lebih berpendidikan atau lebih tepatnya lebih berani dan tidak pemalu seperti yang lain. "Nggak apa-apa Bu. Saya hanya penasaran, soalnya dari tadi ibu-ibu disini hanya menonton kami yang sedang pelatihan. "Lho, memangngnya dilarang ya Pak? Aduh, salah bicara apa saya ya. Ibu ini sepertinya keritis juga dan agak galak. "Oh, tentu saja tidak dilarang, bahkan tadi saya sempat minta ibu-ibu ini masuk ke dalam masjid saja, sekalian biar nggak capek berdiri." Kucoba memberikan jawaban yang aman. "O, begitu ya. Sebenarnya kami hanya mau melihat saaja. Bapak-bapaknya bikin apa di sini. Soalnya kami tidak pernah lihat yang begini."
Waktu 15 menit yang kuberikan kepada peserta pelatihan tidak terasa sudah habis. Seorang peserta mendatangi saya dan mengingatkan bahwa mereka sudah selesai mengerjakan tugas kelompok. Kali ini Suburia angkat bicara."Kami belum pernah dilatih kayak bapak-bapaknya Pak." Oke, saya sudah faham kondisinya. Kuputuskan untuk masuk ke ruang pelatihan dan meminta agar ibu-ibunya tetap menonton dan berjanjii akan memberikan kotakan. Kotakan merupakan sebutan untuk konsumsi yang berisi kue dan teh kotak. Saya kemudian menyampaikan materi yang saya hubungkan dengan perlunya melibatkan perempuan dalam kegiatan-kegiatan di kampung, termasuk pelatihan-pelatihan. Materi seperti ini tidak perlu persiapan khusus. Saya hanya mengambangkan materi yang sudah ada. Alhasil, bapak-bapaknya merespon baik dan peserta kemudian kuminta membuat tugas kelompok lagi tentang pembagian tugas dalam melakukan pembibitan mangrove. Mangrove adalah habitat tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau di laut. Dibeberapa daerah lebih dikenal dengan sebutan bakau.
Sementara laki-laki mengerjakan tugas, saya kemudian keluar masjid, menghampiri mereka yang masih mennonton. Kali ini mereka tidak lari, bahkan mendekat. Soalnya saya sudah membawa sepuluh kotakan. Kubagikan satu persatu dan ups, ternyata kurang. Ternyata ada lima orang tambahan lagi. Kacau nih, kuminta mereka bersabar dan mengambilkan lima kotak lagi. Saya meminta mereka bertahan sejenak sambil menikmati hidangan kotakan yang kubagikan sambil berdiskusi. Intinya mereka tidak ada kelompok, belum ada pelatihan dan pembinaan kecuali pos yandu. Lima belas menit keduapun berlalu, seorang peserta mendatangi saya kembali dan melaporkan bahwa tugas kelompok telah selesai dan menunggu perintah selanjutnya. Saya meminta satu orang yang galak tadi untuk mencatat nama-nama mereka dan kufikir mereka harus diberikan pendampingan satu hari nanti.
Cukup lama waktu berlalu, saya hampir lupa dengan mereka sampai satu saat KBCF memintaku membuat program untuk kelompok marjinal. Saya langsung teringat dengan mereka, kucari secarik kertas yang beirisi jumlah dan nama-nama mereka. Masih tertempel di ruang kerja saya. Agak berdebuh dan lusuh, maklum sudah dua tahun kertas itu menanti untuk diambil dan diketik dalam proposal pendmapingan yang pernah kujanjikan.
Ya, itulah cerita mengapa bagaimana kuetemukan Suburia dan puluhan perempuan lain di Tekasalo, salah satu lokasi dampingan program PNPM Peduli di Kalimantan Timur. Mereka tinggal di perkampungan yang terpisah dari darat, akses keluar hanya lewat laut dengan perahu kecil yang disebut ketinting. Meraka hampir tidak tersentuh, bilapun ada program pembangunan yang masuk hanya ala kadarnya, nggak serius.
Singkat cerita, kondisi sekarang sudah jauh lebih baik, mereka sudah memiliki kelompok, mereka sudah mulai menjalankan usaha, beberapa diantara meraka sudah berani menguatarakan pendapatnya, sudah terlibat dalam proses perencanaan pembangunan dan mereka sudah menjadi nara sumber dan sumber inspirasi bagi banyak perempuan di Bontang. Pemerintah lebih serius dan lebih sering datang menemui mereka. Suburia dengan puluahn perempuan lain di Tekasalo bisa jadi masih disebut miskin karena masih diberikan beras raskin, tapi dia dan puluahan perempuan lain sudah merasa lebih percaya diri. Bahkan kelompok laki-laki yang dulu dilatih pembibitan mangrove kalah pamor dari kelompok perempuan. Mungkin mereka masih miskin untuk beberapa tahun kemudian, tapi mereka sudah punya peluang untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar