Jumat, 03 Mei 2013

Parabola di Gubuk Derita

Pagi ini setelah mengurus tanamanku, aku kembali membuka laptop dan menemukan catatan laporan assesment PNPM Peduli yang belum aku sentuh. Kubuka satu map plastik dan teringat satu kejadian disebuah perkampungan, dilokasi assesmen. Aku tak sabar untuk menulisnya, takut lupa dan kehilangan moment. 

Ya, aku mau cerita tentang pemandangan yang berbeda. Jujur, rekomendasi lokasi assesmen program yang kubawa bukan ke lokasi ini. Entah mengapa, setelah diskusi dengan kepala desa yang direkomendasikan aku ingat satu perkampungan di wilayah yang sama. Kampung Kutai, itu adalah nama perkampungan penduduk yang terletak di Desa Santan Ulu. Disebut demikian karena mayoritas penduduknya adalah suku Kutai. Mereka adalah salah satu suku asli Kalimantan Timur, selain paser, dayak, dan Tidung. Setidaknya itu yang kutahu saat ini.

Suku Kutai di Desa Santan Ulu tinggal di satu dusun yang disebut Wira II. Saya belum sempat tanya mengapa di sebu demikian, kenapa nggak disebut Dusun Kutai saja. Kondisi yang berbeda yang kumaksud adalah ketika masuk di desa tersebut jalannya belum diseminisasi, jaringan PDAM belum nyampe, bilsa sakit mesti ke desa tentangga, mau urusan desa jauh, mau usaha nggak ada modal, mau bongkar muatan bingung, mau apa aja, sulit bagi  mereka.

Mereka pasrah, hanya menunggu. Berbeda dengan perkampungan sebelah. Jalan mulus, usaha berkembang, faslititas umum tersedia, rumah sudah cukup memadai, bahkan beberapa disebut mewah. Menurut kepala dusun, mereka belum kebagian giliran. Mestinya jalan mereka dulu yang dipoles tapi penduduk kampung sebelah protes, jadi mereka mengalah.

Pemandangan kedua yang berbeda dan bisa jadi "bahan" evaluasi bagi kita semua agar tidak terkecoh adalah setiap rumah ada parabola. Loh, emang nggak boleh? Masalah buat elu! Ya, nggak lah, tapi lihat dong rumahnya. Reot, atap daun nipah, dinding nggak jelas, jendela dari kain bahkan spanduk bekas, terima raskin. 

Penasaran dengan pemandangan itu, akupun menggali informasi. Ternyata, tv adalah satu-satunya hiburan di kampung itu sehingga setiap malam anak-anak dan orang tua berbondong-bondong Pak Dusun, satu-satunya warga yang memiliki tv saat itu. Banyaknya kasus digigit ular saat pergi dan pulang nonton tv tadi maka kebutuhan perbaikan rumah, pendidikan dan sandang pangan tereliminasi. Merekapun rela mencicil parabola dan tv untuk sekdar menemani kala malam menyapa. Maklum, belum ada jaringan tv kabel  ditempat terisolir seperti di kampung mereka. Jadi, parabola dan tv tidak dapat dijadikan indikator kesejahteraan di dusun ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar