Kamis, 02 Mei 2013

Pulau Gusung: Kampung Nelayan di Tepi Hutan Bakau


Pulau Gusung, sebuah pemukiman nelayan diatas air. Pulau hanya sebutan setempat karena ada daratan di tengah laut, bukan menggunakan definisi UNCLOS. Sebenarnya pulau itu bukan alami tapi berasal dari tumpukan material pasir laut hasil pengerukan alur kapal perusahaan PT. Pupuk Kaltim Tbk tahun 80-an. Sementara Gusung adalah sebutan untuk daratan yang muncul saat air surut dan akan tenggelam ketika air pasang. Hingga kini sebutan Pulau Gusung untuk pemukiman nelayan tersebut melekat dan dijadikan sebuah RT. Pemukiman yang dihuni 77 KK tersebut semuanya nelayan.

Sebenarnya tahun 2003, aku pernah melakukan kegiatan disana, namun hanya setahun lalu kami pergi. Saat itu penduduknya tidak lebih 20 KK. Ketika aku datang untuk assesmen PNPM Peduli kudapati rumah yang semakin banyak, namun tetap saja kumuh. Tiang rumah berasal dari kayu bakau, lantai dan dinding dari kayu sobetan, istilah untuk papan sisa. Tidak ada jamban keluarga, tidak ada sumber air bersih, penerangan dari lampu jenset. Menurut Udin, ketua RT setempat, dulu ada tandon dan perahu yang rutin mengantar air, tapi tersangkut kasus korupsi sehingga program tersebut berhenti. Kondisi rumah reot tidak layak huni juga menjadi pemadangan tersendiri di kampung itu.  "Walikota dan Sekda berjanji dengan kami saat mereka berkunjung kesini." Ketua RT menjelaskan kalau sebenaranya mereka pernah dijanji untuk bantuan rehab rumah.

Pulau Gusung berbentuk opal dengan luas kira-kira dua kali lapangan sepak bola. Disekeliling pulau itu beridiri rumah-rumah yang membelakangi laut. Sebenarnya, pemukiman itu cukup menarik untuk dijadikan salah satu tujuan wisata, rekreasi keluarga. Ada pemandangan mangrove dan laut terbuka, hutan mnagrove dan industri pupuk dari laut. Lebih menarik bila malam hari dengan lampu-lampu perusahaan. Seperti melihat singapur dari Batam. 

Sayangnya, perhatian pemerintah agak kurang disana, berbeda dengan tiga pemukiman nelayan serupa yang terletak di Selatan Pulau Gusung. Bahkan, keberadaan 3 pemukiman tersebut baru 10 tahun yang lalu. Satu yang saya yakini bahwa inisiatif dan model kepemimpinan RT sangat berperan, kedua pendampingan memang diperlukan untuk menunjukkan how to do it. Itu juga yang "mungkin" membedakan kondisi berbeda dengan 3 pemukiman serupa dengan Pulau Gusung.

Pemukiman nelayan diats air berawal dari nelayan yang tidak kuat mendayung pulang pergi ke darat setiap hari. maklum, dulu belum ada mesin seperti yang dikenal sekarang. Bila ada juga tidak terjangkau nelayan tradisonal seperti mereka. Bermula dari pondok ukuran 2x3 meter, kemudian dua pondok berkembang menjadi 10 pondok dan menjadi sebuah RT yang dihuni antara 50-100 KK. Mereka datang dari Sulawesi Barat, satu persatu setia tahun denga status miskin karena jelas tidak punya rumah, tdaik punya pekerjaan, tidaki ada modal untuk berusaha dan tidak skill untuk bekerja diperusahaan. jadilah mereka nelayan, ya nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya modal "dengkul."

Beberapa hari makan beras raskin bersama mereka tentu tidak asing bagi saya, tapi aneh ketika 10 menit dari kampung itu berdiri perusahaan multinasional dan mereka tetap saja miskin. Apakah PNPM Peduli bisa sedikit membuka akses agar mereka lebih baik dari hari ini. Saya yakin, perusahaan sudah memberi banyak, pemerintah sudah merencakaan pembangunan, namun mungkinkan ada yang salah pada proses atau pada masyarakatnya?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar