Sabtu, 25 Mei 2013

LAMPU UNTUK BU HERLINE

Remuk. Satu kata yang sering kugunakan di status bb ku. Workshop evaluasi PNPM Peduli di Kalimantan baru saja selesai dilakukan. Lebih lima puluh orang hadir untuk melakukan evaluasi terhadap program fase pertama atau fase pilot. Pagi ini, aku masih harus menunggu mereka cek out baru aku bisa balas dendam untuk mengganti jam tidurku. Aku harus bergandang untuk menyiapkan workshop yang dilakukan di hotel Mesra Internasional Samarinda itu. Untuk acara seperti ini, kesibukan luar biasa akan terjadi h-1. Ya, sekarang aku sedikit lega karena acara berlangsung sukses. Hanya menulis laporan untuk menuntaskan program fase ini. 

Badan yang terasa remuk tak menghalangiku untuk sarapan. Aku tahu, ceremoni sarapan tidak boleh aku lalaikan atau kampung tengah akan mengalami gangguan yang hebat. Di restoran hotel aku bertemu dengan rombongan dari Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka adalah salah satu penerima manfaat dan target  untuk program ini. Salah satu di antara mereka adalah Bu Herline, pengrajin anyaman rotan dari komunitas dampingan KBCF untuk program ini. Setelah selesai sarapan, mereka siap untuk berangkat ke bandara. Tapi untuk mengabadikan momen ini, kami berfoto. Heri, sang fotografer dadakan kami mulai beraksi. Dia sibuk memainkan kameranya, sesekali memberikan instruksi kepada kami. Ya, selesai, kata dia. Kamipun berdiri. Namun Bu Herline protes. Belum, belum selesai. Kami heran dan tanpa diperintah kami kembali duduk pada posisi awal. Sang fotografer kembali beraksi. Tapi Bu Herline masih saja protes. Lampunya belum nyala. Oooo.....

Minggu, 05 Mei 2013

Mereka yang bertahan dalam badai

Di kampung asal, bisa jadi rumah mereka lebih baik dari tempat tinggal mereka saat ini. Mereka sudah 3-4 tahun bekerja dan membuat pondok dilokasi kebun sawit.  Pondok rata-rata berukuran 2x meter. Demi rupiah, mereka meninggalkan rumah, kampung halaman dan keluarga. Apa hendak dikata, di kampung tidak ada lagi rupaiah yang bisa digenggam. 

Beberapa di antaranya terpaksa membawa serta anak mereka, tidak sekolah. Tidak kurang dari 50 anak usia sekolah terpaksa ngantuk di pemukiman buruh sawit ini. Aku telah bertemu kepala dinas pendidikan setempat. Sementara ini kami sepakat agar biasa buat sekolah filial disana. Rencananya kami, tahun pertama guru akan disiapkan oleh program yang kubaca, selanjutnya dinas pendidikannya akan programkan pada tahun 2014. Sayangnya perusahaan yang mempekerjakan mereka tidak dapat kami temui, semoga mereka terketuk nantinya. 

Tentu kami tidak akan membangun gedungnya, tapi bagaimana proses belajar bisa berlangsung. bukan hanya anak usia sekolah Dasar, anak remaja dan perempuan juga minta dibuatkan kejar paket. Wow, semangat mereka luar biasa. Motivasi mereka sederhana, mereka tidak bercita cita selamanya jadi buruh. Mereka berharap dengan sedikit bekal ijazah kelak bisa hidup dengan dapat pekerjaan lebih baik. bagi arang tua tidak berharap banyak, kecualinya bisa memberi makan anak dan dengan sekolah kanan kelak nasib mereka tidak seperti orang tuanya. 

Jumat, 03 Mei 2013

Parabola di Gubuk Derita

Pagi ini setelah mengurus tanamanku, aku kembali membuka laptop dan menemukan catatan laporan assesment PNPM Peduli yang belum aku sentuh. Kubuka satu map plastik dan teringat satu kejadian disebuah perkampungan, dilokasi assesmen. Aku tak sabar untuk menulisnya, takut lupa dan kehilangan moment. 

Ya, aku mau cerita tentang pemandangan yang berbeda. Jujur, rekomendasi lokasi assesmen program yang kubawa bukan ke lokasi ini. Entah mengapa, setelah diskusi dengan kepala desa yang direkomendasikan aku ingat satu perkampungan di wilayah yang sama. Kampung Kutai, itu adalah nama perkampungan penduduk yang terletak di Desa Santan Ulu. Disebut demikian karena mayoritas penduduknya adalah suku Kutai. Mereka adalah salah satu suku asli Kalimantan Timur, selain paser, dayak, dan Tidung. Setidaknya itu yang kutahu saat ini.

Suku Kutai di Desa Santan Ulu tinggal di satu dusun yang disebut Wira II. Saya belum sempat tanya mengapa di sebu demikian, kenapa nggak disebut Dusun Kutai saja. Kondisi yang berbeda yang kumaksud adalah ketika masuk di desa tersebut jalannya belum diseminisasi, jaringan PDAM belum nyampe, bilsa sakit mesti ke desa tentangga, mau urusan desa jauh, mau usaha nggak ada modal, mau bongkar muatan bingung, mau apa aja, sulit bagi  mereka.

Mereka pasrah, hanya menunggu. Berbeda dengan perkampungan sebelah. Jalan mulus, usaha berkembang, faslititas umum tersedia, rumah sudah cukup memadai, bahkan beberapa disebut mewah. Menurut kepala dusun, mereka belum kebagian giliran. Mestinya jalan mereka dulu yang dipoles tapi penduduk kampung sebelah protes, jadi mereka mengalah.

Pemandangan kedua yang berbeda dan bisa jadi "bahan" evaluasi bagi kita semua agar tidak terkecoh adalah setiap rumah ada parabola. Loh, emang nggak boleh? Masalah buat elu! Ya, nggak lah, tapi lihat dong rumahnya. Reot, atap daun nipah, dinding nggak jelas, jendela dari kain bahkan spanduk bekas, terima raskin. 

Penasaran dengan pemandangan itu, akupun menggali informasi. Ternyata, tv adalah satu-satunya hiburan di kampung itu sehingga setiap malam anak-anak dan orang tua berbondong-bondong Pak Dusun, satu-satunya warga yang memiliki tv saat itu. Banyaknya kasus digigit ular saat pergi dan pulang nonton tv tadi maka kebutuhan perbaikan rumah, pendidikan dan sandang pangan tereliminasi. Merekapun rela mencicil parabola dan tv untuk sekdar menemani kala malam menyapa. Maklum, belum ada jaringan tv kabel  ditempat terisolir seperti di kampung mereka. Jadi, parabola dan tv tidak dapat dijadikan indikator kesejahteraan di dusun ini.



Kamis, 02 Mei 2013

3 Cara Bongkar Muatan Secara Darurat

"Pak. Saya mau ke belakang." Kampung tengah terasa ingin mengeluarkan sesuatu. Bingung mencari kamar kecil, keringat dingin sudah membasahi wajahku sampai kuputuskan bertanya pada pemilik rumah. "Ini cangkulnya, ke kebun saja Nak." Oh, Tuhan, masak kita mau ke kemar kecil malah disuruh nyangkul. 

Dilain waktu, disebuah pemukiman nelayan. Serangan di kampung tengah datang lagi. "Maaf Bu. Saya mau ke kamar kecil." Sang ibupun menunjuk ke arah bilik yang tak berpintu. Aduh, bagaimana ini! Kan malu mau jongkok tapi ibu ada di dapur, bakal kelihatan. Terus, kan nggak enak dengan suara bomnya nanti, nggak ada perangkat silent atau getar saja. Masyarakat di kampung nelayan tersebut belum ada yang punya jamban berseptiktank, apalagi bersertifikat, hanya wc cemplung.

"Bu, ada tamu diluar. Penting mau ketemu ibu." Aku mendapat ide agar dia pergi dari depan bilik tempat aku jongkok. Sang ibupun bergegas, bermaksud menemui Sang tamu karanganku. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Beruntung, rumahnya agak panjang sehingga waktu kurasa cukup untuk bongkar muatan. Tak lama Sang ibu muncul dan sedikit mengomel karena tamu yang dimaksud tidak dia dapatkan. "Mungkin keburu pulang Bu." Aku menghiburnya.

"O, ada tamu ya. Tadi kirain siapa yang lagi bongkar muatan." Aku dikejutkan suara Pak RT dari bawah. Dia sedang mandi dengan air laut sebelum membilas badan dengan air tawar. Mereka  harus berhemat air karena sulit mempereolehnya. "Ya Pak. Saya numpang bongkar Pak. Sudah penuh nih. Maaf ya Pak." Aduh, aku berhasil mengelabui Sang Ibu, eh malah Sang bapak ada dibawah. Kena' deh.

Dua peristiwa itu terjadi disaat aku melakukan assesment PNPM Peduli di Kalimantan. Bila di kereta api aku pernah lihat orang bawa kursi atau koran untuk duduk karena tidak dapat kursi, mungkin saya akan bawa jamban ke sana, saat assesmen karena nggak ada jamban. Mau bongkar muatan aja susah nian, sampai harus menunggu malam gelap. Lah, mereka ketika mau melakukan ceremoni itu santai banget. Datang, duduk langsung selesai, pergi bawa cangkul, gali lubang, jongkok lalu tutup lagi, selesai.  

Ada banyak cara mereka membongkar muatan karena tidak punya jamban keluarga ataupun wc umum. Ada yang pake keresek baru lempar, adapula yang pake jongkok di kebun pisang sambil berlari karena muatan takut disambar bebek. Kalau yang disambar muatan hasil bongkaran nggak sampai masuk rumah sakit tapi kalau yang lain?

Wah, tidak kebayang kalau presiden yang pesawatnya harus mendarat darurat di kebun sawit dan mau bongkar muatan tapi diberi cangkul seperti saya. Pasti sesampainya di istana langsung keluar instruksi untuk pembuatan program 1 milyar jamban untuk KK miskin. Tapi kalau nggak ada presiden yang mendarat darurat minimal sudah masuk program PNPM Peduli lah.

Rusuh Bersama Bu Vinny di Makassar

Makassar, 2012. Aku tidak begitu yakin dengan tahun yang kutulis ini tapi aku yakin bahwa ini adalah satu-satunya acara PSF yang kuikuti. Banyak cerita, cemooh dan juga canda tawa. Aku bertemu dengan banyak orang baru, disamping keterbatasan Bu Vinny mengelolah acara tapi membawa kesan selangit. Kemasan acaranya penuh kejutan, kadang kecewa tapi akhirnya bahagia. 

Pembukaan yang datar, sedikit membosankan namun celoteh peserta membuat suasana ceria. Sesekali terdengar nyeletuk Mas Dwi yang nggak enak tapi menghibur. Bukan itu saja, MOP dari Papua jadi hidangan khas setiap pertemuan Mitra PNPM Peduli. Bertemu dengan beranekaragam dan warna orang disana, bertukar cerita dan derita, seakan lupa dengan kondisi masyarakat dampingan yang penuh keterbatasan. Bertemu dengan mereka yang penuh semangat, penuh gagasan dan penuh cinta. Aku masih  ingat banyak nama tapi juga sudah yang terlupa. Tapi aku tak pernah lupa dengan ceremoni penutupan yang begitu hangat. Cahaya lilin dan lagu kemesraan seakan menjadi memontum penuh hasrat, hasrat akan mimpi membuat masyarakat, komunitas dan orang yang terpinggirkan mendapat sedikit perubahan, sedikit perhatian, sedikit saja. 

Aku masih ingat comment temanku hari ini di jejaring sosial. Dia nun jauh disana, di tanah Papua. Dia tak sabar untuk bertemu, sekadar berjabat tangan, bercanda dan bertukar buah tangan. Satu lagi di Kalbar yang jarang menyapa tapi sering menitip pesan, sekadar halo.  Yap, mungkin moment seperti itu tak akan terulang tapi moment seru lainya akan datang bersama PNPM Peduli. Aku bahkan sempat berfikir, bagaimana kalau kita tidak dengan program ini lagi. Apakah  masih bisa tercipta jalinan rasa yang begitu kuat, begitu tulus? Hanya waktu yang akan menjawab.

Salam hangat untuk semua yang ada di foto diatas, semoga Bu Vinny dan PSF bisa mempertemukan kita lagi untuk seru-seruan, sampai rusuh.

Pulau Gusung: Kampung Nelayan di Tepi Hutan Bakau


Pulau Gusung, sebuah pemukiman nelayan diatas air. Pulau hanya sebutan setempat karena ada daratan di tengah laut, bukan menggunakan definisi UNCLOS. Sebenarnya pulau itu bukan alami tapi berasal dari tumpukan material pasir laut hasil pengerukan alur kapal perusahaan PT. Pupuk Kaltim Tbk tahun 80-an. Sementara Gusung adalah sebutan untuk daratan yang muncul saat air surut dan akan tenggelam ketika air pasang. Hingga kini sebutan Pulau Gusung untuk pemukiman nelayan tersebut melekat dan dijadikan sebuah RT. Pemukiman yang dihuni 77 KK tersebut semuanya nelayan.

Sebenarnya tahun 2003, aku pernah melakukan kegiatan disana, namun hanya setahun lalu kami pergi. Saat itu penduduknya tidak lebih 20 KK. Ketika aku datang untuk assesmen PNPM Peduli kudapati rumah yang semakin banyak, namun tetap saja kumuh. Tiang rumah berasal dari kayu bakau, lantai dan dinding dari kayu sobetan, istilah untuk papan sisa. Tidak ada jamban keluarga, tidak ada sumber air bersih, penerangan dari lampu jenset. Menurut Udin, ketua RT setempat, dulu ada tandon dan perahu yang rutin mengantar air, tapi tersangkut kasus korupsi sehingga program tersebut berhenti. Kondisi rumah reot tidak layak huni juga menjadi pemadangan tersendiri di kampung itu.  "Walikota dan Sekda berjanji dengan kami saat mereka berkunjung kesini." Ketua RT menjelaskan kalau sebenaranya mereka pernah dijanji untuk bantuan rehab rumah.

Pulau Gusung berbentuk opal dengan luas kira-kira dua kali lapangan sepak bola. Disekeliling pulau itu beridiri rumah-rumah yang membelakangi laut. Sebenarnya, pemukiman itu cukup menarik untuk dijadikan salah satu tujuan wisata, rekreasi keluarga. Ada pemandangan mangrove dan laut terbuka, hutan mnagrove dan industri pupuk dari laut. Lebih menarik bila malam hari dengan lampu-lampu perusahaan. Seperti melihat singapur dari Batam. 

Sayangnya, perhatian pemerintah agak kurang disana, berbeda dengan tiga pemukiman nelayan serupa yang terletak di Selatan Pulau Gusung. Bahkan, keberadaan 3 pemukiman tersebut baru 10 tahun yang lalu. Satu yang saya yakini bahwa inisiatif dan model kepemimpinan RT sangat berperan, kedua pendampingan memang diperlukan untuk menunjukkan how to do it. Itu juga yang "mungkin" membedakan kondisi berbeda dengan 3 pemukiman serupa dengan Pulau Gusung.

Pemukiman nelayan diats air berawal dari nelayan yang tidak kuat mendayung pulang pergi ke darat setiap hari. maklum, dulu belum ada mesin seperti yang dikenal sekarang. Bila ada juga tidak terjangkau nelayan tradisonal seperti mereka. Bermula dari pondok ukuran 2x3 meter, kemudian dua pondok berkembang menjadi 10 pondok dan menjadi sebuah RT yang dihuni antara 50-100 KK. Mereka datang dari Sulawesi Barat, satu persatu setia tahun denga status miskin karena jelas tidak punya rumah, tdaik punya pekerjaan, tidaki ada modal untuk berusaha dan tidak skill untuk bekerja diperusahaan. jadilah mereka nelayan, ya nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya modal "dengkul."

Beberapa hari makan beras raskin bersama mereka tentu tidak asing bagi saya, tapi aneh ketika 10 menit dari kampung itu berdiri perusahaan multinasional dan mereka tetap saja miskin. Apakah PNPM Peduli bisa sedikit membuka akses agar mereka lebih baik dari hari ini. Saya yakin, perusahaan sudah memberi banyak, pemerintah sudah merencakaan pembangunan, namun mungkinkan ada yang salah pada proses atau pada masyarakatnya?




Rabu, 01 Mei 2013

Si Miskin dari Tepi Hutan Kalimantan


Dalam satu pertemuan dengan seorang pejabat di Kalimantan, dia menekankan agar saya menggunakan data kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS. Sebenarnya saya mau bilang kalau saya nggak percaya data BPS. Ketika ke lapangan,  saya menemukan kampong semua KK menerima beras raskin. Satu orang berhasil saya verifikasi, rumahnya bagus karena terbuat dari beton dengan ukuran 10x8 meter, ada kendaraan roda dua dan roda empat, ada usaha, ada penghasilan tetap. Orang tersebut sampai saat ini masih menerima beras raskin.

Di tempat lain, saya juga bertemu dengan orang yang menerima beras raskin padahal punya kendaraan roda empat, punya penghasilan tetap dan usaha. Dia mengaku bahwa ada kesepakatan agar beras raskin dibagi rata untuk semua warga.

Saya jadi bingung, bagaimana BPS menentukan siapa dan dimana si miskin. Siapa yang berhak menerima beras raskin dan siapa yang tidak? Bagaimana BPS menerapkan 14 indikator yang BPS miliki, sehingga masih ada orang yang menurut saya tidak pantas di sebut si miskin.  

Di lain waktu, saya juga membaca surat kabar local yang memberitakan bahwa kantor lurah disegel warga. Awalnya saya kira sengketa lahan, ternyata sengketa raskin. Warga tidak terima namanya dicoret dari daftar penerima beras raskin. Wah, bangga ya  disebut orang miskin.

Bagaimana cara membedakan orang yang miskin dengan yang pura-pura miskin?  Ada nggak ya alat untuk mendeteksi  siapa si miskin? Terus terang, saya tidak yakin program pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan ketika masalah raskin saja secara nasional nggak bisa diselesaikan.

Sementara di tepi hutan Kalimantan yang lain, saya menemukan petani yang menghasilkan beras yang bagus,  “didiagnosa” menderita penyaki Si Miskin, mereka pun mendapat beras raskin sebagai obat pelipur lara. Warna dan rasanya nggak jelas bagi saya. Ketika saya tanya mengapa mereka mau menerima beras tersebut jawabannya sederhana, lumayan bisa  dijual dan dapat rupiah.

Menurut saya, kemiskinan ini ibarat penyakit yang akut, sudah komplikasi, penyebabnya banyak sehingga penanganannya juga harus multidimensi. Menangani masalah kemiskinan bukan hanya bicara bagaimana Si Miskin memenuhi kebutuhan berasnnya sehingga diberi beras, tapi ternyata sudah menjadi penyakit social. Rupanya “dokter” kemiskinan pemerintah belum berhasil mendiagnosa penyakit Si Miskin yang satu ini.

Dalam perjalanan saya menelusuri tepi hutan Kalimantan, kutemukan  jejak Si Miskin di mana-mana. Ada yang berada diperkebunan sawit, komunitas adat, kelompok perempuan terisolir, petani yang tidak bisa dapat pupuk, anak-anak petani yang tidak bisa melanjutkan sekolah dan petani yang “hampir” kehilangan lahannya karena tergadai di bank oleh oknum.

Parahnya lagi, penyakit Si Miskin  ada juga yang secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Di tepi hutan Kalimantan kutemukan desa yang semua wilayah desanya sudah menjadi hak guna usaha (HGU) dua perusahaan sawit. Lalu, kemana Si Miskin akan pergi?  Seorang kepala desa memberiku jawaban, “Mereka tidak akan kemana-mana.” Sementara di tepi hutan lain kuperoleh jawaban yang berbeda, “ Mereka tetap disini dan penyakit kemiskinannyaa akan diwariskan ke anak cucu mereka.”

Dalam penangangan masalah Si Miskin oleh pemerintah belum fokus menentukan siapa Si Miskin, apa penyakit yang sedang di derita Si Miskin.  Meskipun sudah ada 14 indikator, tapi dilapangan nggak dipakai. Cukup minta rekomendasi tentangga. Akibatnya satu kampong didiagnosa menderita penyakit Si Miskin. “Kan nggak enak kalau Si A tidak dimasukkan di daftar.” Salah satu ketua RT yang ketemui di tepi hutan memberiku jawaban aneh. Ada juga yang beralasan karena kesepakatan warga. Ketika kutanya apa kriterianya mereka disebut KK miskin, dia juga tidak tahu. Pantas saja pejabat tadi selalu marah-marah karena data kemiskinan tidak kompak. Data dari Pemberdayaan Masyarakat beda, PNPM Mandiri dan BPS tidak sama.

Sebenarnya kami yang membawa program PNPM Peduli memiliki alat deteksi yang cukup baik. Lebih  sederhana dan aplikatif, mudah digunakan dan menggunakan tenologi tepat guna. Beberapa teman yang ikut mendengar cerita dan derita Si Miskin mencoba meramu alat deteksi ini. Alat tersebut disebut PPAM (Partisipatory Poverty Assesment and Monitoring). Alat ini perpaduan dari beberapa alat yang sudah digunakan sebelumnya. Alat ini bisa mendektiisi siapa dan dimana Si Miskin. Sayangnya, pihak yang berwenang belum tertarik untuk menggunakan alat ini, padahal gratis. Kalau dijual mungkin mereka mau ya?


Selasa, 30 April 2013

Gangguan Penonton


Suburia. Aku mengenalnya sekitar tahun 2009, saat itu aku sedang memberikan pelatihan pembibitan mangrove pada kelompok laki-laki di kampung dia. Awalnya,  saya agak terganggu dengan dia dan belasan ibu-ibu yang "menonton" kami dari celah jendela masjid tempat pelatihan berlangsung. Begitu banyak mata yang mengintip dari lubang-lubang jendela. Rasannya risih. Saya tak ingin terganggu lebih lama sehingga kuputuskan untuk menghampiri mereka. Saya keluar masjid bermaksud meminta mereka masuk sekalian, menjadi peserta resmi, tidak "ilegel." Begitu kubuka pintu dan melongok keluar, tak seorangpun nampak. Kemana mereka ya? Sempat bingung dibuatnya. Aku kembali memberikan materi dan berselang 10 menit kemudian, mata-mata itu kembali mengintip dari balik jendela masjid tua itu. Ini nggak bisa dibairin batinku. Saya harus melakukan sesuatu agar gangguan ini berhenti dan saya dapat lebih konsentrasi lagi memberikan materi. Saya memberikan tugas kelompok pada peserta dan harus diselesaikan dalam waktu 15 menit. Saya cukup punya waktu untuk berfikir bagaimana cara mentagsai gangguan mata-mata dibalik jendela itu. Aku pura-pura memimnta seorang peserta untuk membuka semua pintu masjid agar udara segar bisa masuk. Kalau semua pintu terbuka kufikir lebih mudah menjebak mereka dan "tidak menghilang" seperti kejadian pertama. Benar saja, kulihat mereka satu persatu muncul dan mulai mengambil posisi di jendela, mulai mengntip lagi. Saya yang duduk dipinggir pintu siap beraksi dan aha! Seorang ibu-ibu dan anak perempuan yang masih mudah berhasil kujebak. mereka tidak bisa lari, mereka agak kaget. "Maaf Bu. Saya tidak bermaksud mengagetkan. Hanya ingin menyapa." Mereka masih terdiam, seribu bahasa. Tangan anak perempuan itu memainkan sarung yang mereka biasa gunakan. Belakangan kuketahui dia bernama Suburia. "Kenapa ibu mengintip? Kenapa nggak masuk saja" Saya mencoba membangun komunikasi. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Bahkan, lebih memilih menutup mulut mereka dengan sarung kumal yang mereka rata-rata gunakan. Tak lama, dua orang ibu lain datang dan tiga orang lagi sampai mereka terkumpul dengan julah sepuluh orang. Wah, banyak juga, sekarang saya yang takut. Seorang ibu yang datang terkahir nampak lebih berani dan bertanya. "Ada apa Pak" Dia terlihat lebih berpendidikan atau lebih tepatnya lebih berani dan tidak pemalu seperti yang lain. "Nggak apa-apa Bu. Saya hanya penasaran, soalnya dari tadi ibu-ibu disini hanya menonton kami yang sedang pelatihan. "Lho, memangngnya dilarang ya Pak? Aduh, salah bicara apa saya ya. Ibu ini sepertinya keritis juga dan agak galak. "Oh, tentu saja tidak dilarang, bahkan tadi saya sempat minta ibu-ibu ini masuk ke dalam masjid saja, sekalian biar nggak capek berdiri." Kucoba memberikan jawaban yang aman. "O, begitu ya. Sebenarnya kami hanya mau melihat saaja. Bapak-bapaknya bikin apa di sini. Soalnya kami tidak pernah lihat yang begini." 

Waktu 15 menit yang kuberikan kepada peserta pelatihan tidak terasa sudah habis. Seorang peserta mendatangi saya dan mengingatkan bahwa mereka sudah selesai mengerjakan tugas kelompok. Kali ini Suburia angkat bicara."Kami belum pernah dilatih kayak bapak-bapaknya Pak." Oke, saya sudah faham kondisinya. Kuputuskan untuk masuk ke ruang pelatihan dan meminta agar ibu-ibunya tetap menonton dan berjanjii akan memberikan kotakan. Kotakan merupakan sebutan untuk konsumsi yang berisi kue dan teh kotak. Saya kemudian menyampaikan materi yang saya hubungkan dengan perlunya melibatkan perempuan dalam kegiatan-kegiatan di kampung, termasuk pelatihan-pelatihan. Materi seperti ini tidak perlu persiapan khusus. Saya hanya mengambangkan materi yang sudah ada. Alhasil, bapak-bapaknya merespon baik dan peserta kemudian kuminta membuat tugas kelompok lagi tentang pembagian tugas dalam melakukan pembibitan mangrove. Mangrove adalah habitat tumbuhan yang hidup disepanjang pantai atau di laut. Dibeberapa daerah lebih dikenal dengan sebutan bakau. 

Sementara laki-laki mengerjakan tugas, saya kemudian keluar masjid, menghampiri mereka yang masih mennonton. Kali ini mereka tidak lari, bahkan mendekat. Soalnya saya sudah membawa sepuluh kotakan. Kubagikan satu persatu dan ups, ternyata kurang. Ternyata ada lima orang tambahan lagi. Kacau nih, kuminta mereka bersabar dan mengambilkan lima kotak lagi. Saya meminta mereka bertahan sejenak sambil menikmati hidangan kotakan yang kubagikan sambil berdiskusi. Intinya mereka tidak ada kelompok, belum ada pelatihan dan pembinaan kecuali pos yandu. Lima belas menit keduapun berlalu, seorang peserta mendatangi saya kembali dan melaporkan bahwa tugas kelompok telah selesai dan menunggu perintah selanjutnya. Saya meminta satu orang yang galak tadi untuk mencatat nama-nama mereka dan kufikir mereka harus diberikan pendampingan satu hari nanti.

Cukup lama waktu berlalu, saya hampir lupa dengan mereka sampai satu saat KBCF memintaku  membuat program untuk kelompok marjinal. Saya langsung teringat dengan mereka, kucari secarik kertas yang beirisi jumlah dan nama-nama mereka. Masih tertempel di ruang kerja saya. Agak berdebuh dan lusuh, maklum sudah dua tahun kertas itu menanti untuk diambil dan diketik dalam proposal pendmapingan yang pernah kujanjikan. 

Ya, itulah cerita mengapa bagaimana kuetemukan Suburia dan puluhan perempuan lain di Tekasalo, salah satu lokasi dampingan program PNPM Peduli di Kalimantan Timur. Mereka tinggal di perkampungan yang terpisah dari darat, akses keluar hanya lewat laut dengan perahu kecil yang disebut ketinting. Meraka hampir tidak tersentuh, bilapun ada program pembangunan yang masuk hanya ala kadarnya, nggak serius.

Singkat cerita, kondisi sekarang sudah jauh lebih baik, mereka sudah memiliki kelompok, mereka sudah mulai menjalankan usaha, beberapa diantara meraka sudah berani menguatarakan pendapatnya, sudah terlibat dalam proses perencanaan pembangunan dan mereka sudah menjadi nara sumber dan sumber inspirasi bagi banyak perempuan di Bontang. Pemerintah lebih serius dan lebih sering datang menemui mereka. Suburia dengan puluahn perempuan lain di Tekasalo bisa jadi masih disebut miskin karena masih diberikan beras raskin, tapi dia dan puluahan perempuan lain sudah merasa lebih percaya diri. Bahkan kelompok laki-laki yang dulu dilatih pembibitan mangrove kalah pamor dari kelompok perempuan. Mungkin mereka masih miskin untuk beberapa tahun kemudian, tapi mereka sudah punya peluang untuk keluar dari jurang kemiskinan.


Kampung Wisata yang "mungkin" Tergadai

Mancong dan Perigiq, dua desa yang baru saja aku kunjungi untuk assesment program PNPM Peduli. Empat hari disana seperti sedang berwisata. Maklum, aku baru tahu kalau desa itu salah satu tujuan wisata di Kaltim. Disana terdapat Danau Jempang dan rumah adat yang disebut  Lamin. Ketika aku diskusi dengan beberapa warga setempat kau baru teringat kalau lokasi ini beberapa kalai diliput tv nasional. Tapi yang ironis ketika hutan dan lahan masyarakat dayak disana semakin banyak yang dijadikan sawit dan tambang, apakah desa wisata akan tetap ada? Aku memang belum lihat datanya, tapi berdasarkan infromasi dari Petinggi Kampung, sebutan untuk kepala desa di sana bahwa semua wilayah desa mereka sudah masuk dalam wilayah HGU (hak guna usaha) perusahaan sawit. Ha..! Aku kaget seakan tak percaya. Terus mereka akan kemana? Ladang padi dan kebun karet bagamiana? "Ya, tidak kemana-mana." Terang petinggi desa itu.

Kemiskinan: Ditularkan atau Diwariskan?

"Orang sini sabarataan miskin sumua Pak! Kalau orangtuanya miskin, anaknya juga miskin." Itulah sepenggal kalimat yang cukup menarik bagi saya dalam diskusi dengan Kepala Desa Bakungin. tempat dan asalnya tidak penting bagiku, tapi pernyataan itu bisa jadi kondisi sebenarnya terjadi di banyak tempat. Desa Bakungin dihuni oleh suku Banjar. Sabarataan artinya seluruhnya atau semunya. Desa ini terletak di pinggir Sungai Kapuas, Kecamatan Kapuas Hilir Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.

Mereka sudah pasrah dengan kondisi mereka. Yang penting ada yang bisa dimakan hari ini. Mungkin karena pasrah itu membentuk keyakinan mereka bahwa sampai kapanpun mereka, anak dan cucu mereka akan miskin. Benar saja, ketika aku cek kondisi rumah sudah ditempati puluhan tahun belum pernah ada perbaikan, atap bocor, lantai rapuh, kalau pasang, rumah mereka yang dipinggir sungai akan terendam. Banyak diantara mereka yang tidak melanjutkan sekolah, bahkan anak perempuan lebih aman dikawinkan segera setelah lulus SMP. Benarkah kemiskinan itu bisa menular? Atau diwariskan?

Jumat, 26 April 2013

Jeruk Minum Jeruk

Aku baru saja selesai melakukan satu assesmen untuk program PNPM Peduli. Satu dari sekian banyak ceritaku adalah "Jeruk Minum Jeruk." Bakungin, sebuah desa yang terletak dipinggir Kota Kapuas, ibu kota kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Kalau nggak salah, 100 persen penduduknya suku Banjar. Ada tiga ratus kepala keluarga yang mendiami desa itu dan semuanya menerima beras raskin. Yang kumaksud jeruk minum jeruk adalah mereka mendapat pembagian beras padahal mereka petani yang menanam padi dan menghasilkan beras yang kualitasnya jauh lebih baik daripada beras raskin yang mereka terimah. Sebenarnya mereka tidak butuh itu, mereka butuh pupuk untuk sawah mereka yang hasil panennya terus menurun karena tidak bisa membeli pupuk. Seratus persen pendudukanya menanam padi. harga padi yang sangat rendah dan harga pupuk yang selangit membuat mereka "malas" menanam padi. Meraka hanya menanam untuk memenuhi kebutuhan makan selama 12 bulan, kalau butuh rupiah mereka menjual sedikit persediaan padi mereka dan kemudian harus mengencangkan ikat pinggang alis berhemat karena jatah beras telah berkurang, dijual untuk kebutuhan lain.

Kembali ke jeruk tadi. Bisa nggak ya, kebijakan itu dirubah berdasarkan kebutuhan masyarakat miskin. jangan semuanya diseragamkan. Penyebab mereka miskin sangat kompleks sehingga penanganannya juga harus multidimensi. Masyarakat Bakungin merasa pemerintah tidak adil. Satu sisi menekan harga padi agar daya beli masyarakat umum membaik, tapi lupa bahwa saat yang sama pemerintah sudah memiskinkan ratusan orang petani di Bakungin dan mungkin ribuan lagi di desa lain. 

Tidak semua orang miskin butuh beras, seperti halnya di Bakungin, mereka lebih butuh pupuk. Tidak heran, bila beras yang meraka terima dijual untuk mendapatkan rupiah. Kalau sudah begii program pemerintah bisa jadi kurang tepat sasaran.




Kamis, 25 April 2013

Permen Persahabatan




Aku harus tergesa-gesa berjalan, bahkan setengah berlari karena petir dan guntur terus mengejarku. Mereka bersahut-sahutan dengan suara yang menggelegar dan sesekali melempar kilat. Langit gelap sejak aku tinggalkan rumah pertanda hujan akan turun, meski sampai aku tiba di jembatan titian ini tidak setetes airpun terjatuh. Itu baik buatku karena aku tidak berniat membuka jas hujan yang kulipat rapi di jok motor matik isteriku yang terpaksa aku tunggangi untuk mengejar waktu. Biasanya aku naik perahu cess. Perahu yang terbuat dari dua lembar papan dan hanya dapat dimuat maksimal 4 orang dewasa. Sangat kecil karena bila ombak cukup besar seluruh penumpang akan basah.

Sejurus kemudian aku sudah ada diatas kayu bulat yang didempetkan, sekilas sedikit mengerikan karena berada diatas air laut yang sedang pasang, sendirian ditengah hutan mangrove dengan langit gelap dan petir menggelegar. Motor hanya sampai disitu saja karena kampong tujuanku kali ini dipisahkan oleh sungai dan hutan mangrove. Mangrove adalah sebutan untuk hutan yang ada di pesisr laut. Jembatan itu tidak panjang, hanya kira-kira dua kali ukuran lapangan bola tapi cukup jauh untuk meniti dua kayu bulat yang tidak kokoh. Aku berlari bukan karena takut, tapi mengejar waktu agar tidak bertemu hujan yang nampaknya tak sabar untuk membasahi bumi.

Aku harus memperhatikan langkahku, tapi  rasa penasaran membuatku selalu melihat ke atas, menyaksikan langit hitam pekat yang dihiasai kilatan-kilatan petir, menjadi pemandangan tersendiri.  Brak! Ups, kakiku menginjak salah satu kayu yang sudah rapuh dan langsung patah. Aku jatuh terduduk dengan satu kaki sudah tercelup air laut. Aku juga tak dapat langsung berdiri karena pahaku sudah terjepit. Sebenarnya aku berharap ada orang lain  melintas, aku tidak berharap untuk ditolong tapi meniti jembatan ini terasa sangat lama, padahal aku sudah berlari-lari kecil.

Aku berhasil menarik kakiku dari air dan berdiri, berniat melanjutkan perjalanan tapi lagi-lagi perhatian teralih pada satu sosok yang menarik. Ya, aku melihat segerombolan kera yang berpelukan karena ketakutan. Rupanya kera-kera itu masih kecil, sepertinya mereka tersesat atau kehilangan induknya. Ah, sayang aku tak membawa kamera tapi sudahlah aku juga tak dapat berbuat apa-apa untuk menenangkan mereka. Aku khawatir mereka tambah takut dengan kehadiranku. Aku melanjutkan langkah kakiku yang sudah mulai melambat, ototku sudah terasa nyeri dan tak dapat megayuh langkaku lebih cepat lagi. nafasku sudah satu-dua, aku putuskan untuk berjalan santai, kalau aku harus kehujanan, ya sudahlah.

Beberapa meter melangkah, aku merasa ada yang mengikutiku, tapi aku tak melihat apa-apa. Penasaran dan bulu kudukku mulai berdiri, aku berhenti dan menoleh. Huh, ternyata seorang anak muncul diujung jembatan. Meskipun kaget, tapi aku senang karena mendapat teman perjalanan. Kelihatannya dia juga memang takut, wajahnya pucat dan nampak sesekali menarik nafas panjang. Sepertinya tadi dia juga berlari untuk sampai dijembatan ini, tidak mau kehujanan seperti diriku.  

Aku berhenti, menunggunya. Aku sudah mempersiapkan kata-kata untuk menyapanya. Khawatir dia takut padaku karena belum kenal. Biasanya, anak-anak yang bertemu orang asing enggan berbicara, bahkan akan menghindar. Aku tak ingin begitu. Hi Dik, nama kamu siapa? Kamu baru pulang sekolah ya? Tinggal dimana? Ya, tiga kalimat tanya itu sudah kususun rapi dan akan kukatakan ketika dia sampai di dekatku. Namun aku kecewa karena tak satu pertanyaannku dia jawab. Dia hanya tertunduk, sambil mempermainkan tali tas sekolahnya. Anak ini rupanya tipe pemalu atau mungkin bisu? Ah sudahlah, dari pada kehujanan aku mempersilahkan dia berjalan duluan.

Aku mengikutinya sampai diujung jembatan dan dia berbelok  kearah kampong yang disebut Salantuko. Ya, satu pertanyaanku terjawab. Dia tinggal di perkampungan itu yang merupakan salah satu lokasi program PNPM Peduli yang aku fasilitasi di Kalimantan Timur.  Namun aku belum tahu namanya. Kami berpisah di persimpangan jalan setapak karena aku akan ke kampong sebelah. Untuk mencapai kampong tersebut biasanya lewat laut karena sedikit terpisah dari darat, dikelilingi hutan mangrove, namun hari ini aku pergi mendadak dan tak ada masyarakat yang dapat menjemputku seperti biasa.

Akses darat sudah ada, namun baru jalan setapak dan jembatan titian dari kayu bulat yang masyarakat terpaksa bangun. Sebelumnya, puluhan anak-anak harus membuka celana dan baju mereka untuk ke sekolah karena tidak ada jembatan. Setiap pagi mereka menempu jalan beberapa kilometer, melewati pematang empang, bila air pasang, seragam merah putih harus dibungkus dan dimasukkan tas agar tidak basah.

Tak lama kemudian, aku sampai di Loktunggul, tujuannya hari ini. Aku langsung ke sebuah rumah tua, sudah reot dan dijadikan secretariat kelompok perempuan yang aku dampingi. Ketua kelompok dan beberapa anggota lainnya sudah menungguku. Setelah beristirahat kamipun berdiskusi, tapi aku masih penasaran dengan teman perjalananku hari ini. Aku menceritakan kejadian itu dan ternyata mereka mengenalnya. Anak itu namanya Yusrandhani, dipanggil Iccang tapi beberapa temannya memanggilnya Yusran. Menurut mereka dia anak yang sejak kecil sudah sakit-sakitan sehingga berbulan-bulan pernah tidak sekolah.

Aku jadi ingat, Pak RT pernah menceritakan hal ini kepada saya tahun lalu. Meskipun anaknya sakit-sakitan, sering tidak masuk sekolah namun bisa mengejar dan mengikuti pelajaran yang tertinggal. Menurut Pak RT kalau sakit, seluruh kaki dan tanganya bersisik. Sudah bolak-balik ke puskesmas tapi tidak sembuh sampai akhirnya orang tuanya membawa ke Sulawesi untuk berobat alternative.

Setelah kejadian itu, kami tidak pernah bertemu lagi ataupun mendengar kabar dari orang yang kutemui. Namun, baru-baru ini setelah enam bulam pertemuan kami terakhir kami bertemu kembali ditempat yang sama. Bedanya jembatan titian sudah diganti dengan jembatan ulin empat meter, diapun sudah memakai sepeda ke sekolah. Namun tetap dengan muka yang pucat dan tidak mau bicara. “Hi, ketemu lagi.” Aku menyapanya dengan percaya diri, aku harus membuatnya berbicara dan memberitahukan sendiri namannya padaku. Dia berhenti, menurunkan satu kakinya dari sepeda. “Nama kamu siapa? Baru pulang sekolah ya?” Ah, rupanya basa basih yang kulempar untuk bekenalan dengannya tak jua membuakan hasil. Aku mengeluarkan permen dari tas kecilku, jurus pamungkas. Aku memang selalu membawa permen bila bepergian ke lapangan. Aku tidak merokok, jadi bila bertemu orang baru aku tidak menawarkan rokok, tapi permen. Permen persahabatan. Dia mengambil satu biji. “Ayo ambil saja semua, Dik.” Dia malu-malu dan tetap tertunduk.” Aku masukkan semua permen yang kugenggam ke saku bajunnya. Baju seragam putih dan celana biru tua itu sudah nampak lusuh dan kotor. Mungkin karena terkena lumpur di jalan. Dia tidak menolak. Sip, ini artinya dia menerimah berpemintaan persahabatanku.

Karena jembatannya baru, banyak ibu-ibu dan anak sekoah yang melintas dari kampung sebelah. Aku tambah penasaran ketika permen kusodorkan tak juga dapat membuatnya bicara. Seorang ibu yang juga anggota kelompok yang kudampingi membantu dengan bahasa mereka. Mereka menggunakan bahasa Mamuju, dari Sulawesi Barat. Meraka datang dan bermukim di daerah tersebut sekitar tahun 70-an.

Anak itu tak juga mengeluarkan suara, hanya mengangguk, tanda dia mau menerima saran ibu tesebut. Kebetulan bahasa daerah mereka aku faham dan dapat menggunakannya. Kufikir dengan menggunakan bahasa mereka, dia akan bicara padaku tapi tetap saja dia membisu. Lagi-lagi ibu tadi membantu  dengan mengatakan bahwa dia memang jarang bicara, apalagi dengan orang baru. Agak lama kami ditempat itu bercakap-cakap sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

Tujuan saya hari ini memang hanya untuk mengambil gambar jembatan yang baru selesai dibangun pemerintah setempat, mengganti jembatan titian yang mereka bangun beberapa bulan lalu. Namun, ketika kami mau berpisah jadi teringat dengan kondisi teman baruku itu. Aku terpaksa menahan mereka lagi dan berbicang-bincang tentang perkembangannya. Kebetulan dalam program PNPM Peduli ini kami juga ada aktiftas memfasilitasi kesehatan dasar bagi masyarakat. Melalui program PNPM Peduli kami sudah bekerjasama dengan puskesmas setempat untuk melatih 12 kader kesehatan. Kader kesehatan ini sudah mulai membantu pelayanan petugas puskesmas keliling dua bulan sekali, bahkan rencana berikutnya mereka akan bantu untuk sosialiasi Perilaku  Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada masyarakat setempat.

Yusran ternyata salah satu anak anggota kelompok dampinganku. Dari perbincangan itu kuketahui bila penyakit gatal-gatal yang dideritanya beberapa bulan lalu sudah ada perubahan setelah berobat alternative, meskipun koreng dibagian kaki masih jelas terlihat ketika dia menggunakan celana pendek. Namun sekarang dia sering mengeluh sakit kepala dan deman dimalam hari sehingga sering bolos sekolah. Menurut mereka, Yusran sudah dibawa berobat, namun tetap saja sakit kepala. Dokter yang memeriksanya hanya memberinya obat turun panas.

Rupanya orang tua Yusran tidak puas dengan pengobatan puskesmas setempat. Hal kuketahui ketika pada kesempatan lain saya bertemu dengan Ibu Masba, masih kerabat Yusran yang juga tentangga depan rumah. Hal yang sama juga diuangkapkan salah satu ketua kelompok dampinganku, “Sebenarnya, kami bingung Pak harus bagaimana karena sudah bolak-balik ke puskesmas tapi tidak ada perubahan.” Seluruh masyarakat Bontang bila berobat ke puskesmas dan rumah sakit tidak perlu bayar karena ada jamkesmas untuk masyarakat miskin dan jamkesda untuk masyarakat umum. Namun, kurangnya pehamanan dari sebagian masyarakat menyebabkan mereka malas berobat. Bila sudah berobat lebih dari sekali mereka kemudian berpendapat obat dari dokter tidak manjur. Apalagi bila harus bolak-balik ke kota memerlukan biaya. “Kalau tidak ada perubahan, kenapa tidak periksa darah saja Bu?” Aku memberi saran ketika aku bertemu dengan ibu Yusran tapi dia hanya tersenyum, tersipu-sipu. “Kalau mau ke rumah sakit, kami tidak ada biaya Pak. Apalagi kalau harus bolak-balik.” Lanjutnya.

Letak rumah sakit memang cukup jauh untuk ukuran orang tua Yusran yang hanya buruh harian. Sudah beberapa bulan ini berhenti budidaya rumput laut karena terserang penyakit. Modalnya usaha terpaksa dibelikan sepeda untuk Yusran yang bersekolah diluar kampong. Maklum, belum ada SMP di kampungnya. Dia dan beberapa anak lain dari ampung tersebut sebelumnya harus berjalan kaki, namun dengan adanya jembatan yang dibangun pemerintah setempat sedikit membantu anak sekolah.

“Pak, bagaimana ini. Kami bingung mengatasi penyakit Yusran. Selang beberapa hari, sakit lagi. Apakah Pak Senny bisa bantu cari solusi?” Begitu kira-kira sms yang kuterima dari salah satu ketua kelompk disana. Aku kemudian menelpon ke tentangga Yusran yang biasa menemaninya berobat ke puskesmas. Aku berjanji untuk mencoba membantu setelah ada waktu main ke kampong. Jarak rumahku dan kampong Yusran sebenarnya tidak jauh, hanya butuh waktu satu jam bila cuaca baik, namun aku jarang dirumah. Masih keliling di daerah dampingan lainnya yang tersebar di beberapa lokasi di Kalimantan. Sementara itu, aku menghubungi kader kesehatan setempat dan minta agar Yusran bisa diperiksa  saat puskemas keliling.

Berselang satu bulan kemudian, aku baru punya waktu untuk membayar janji. Lagi-lagi cuaca tidak bersahabat, sementara Yusran tidak dapat kuhubungi, bahkan melalui tentangganya. Sms tidak dibalas, telepon tidak diangkat. Aku putuskan untuk tetap berangkat, aku takut bila ditunda akan timbul masalah. Lagi pula aku sudah janji akan berkunjung ke rumahnya.

Perjalan ke rumah Yusran sediit terhambat karena hujan baru saja redah, jalan sangat becek. Saya harus berhenti di kampong terdekat untuk shalat Jumat, sekalian istirahat. Selesai shalat, aku bersiap melanjutkan perjalan ketika hp saya berbunyi. “Pak, kami sudah di Bontang. Bapak posisi dimana? Kita ketemu dimana?” Sms dari salah satu kerabat Yusran baru masuk. Aku terpaksa kembali ke kota. Aku minta mereka menungguku saja karena sudah terlanjur mau bertemu. Ternyata, dua hari sebelumnya Yusran sakit lagi dan telah berobat di dokter umum di kota sekalian bertemu saya, hanya saja komunikasi tidak berjalan baik.

Setelah bertemu dan mendangar cerita orang tuanya aku akhirnya membuat rencana. Tapi Yusran tetap saja membisu, sama dengan pertemuanku sebelumnya, tidak ada sepatah kata yang meluncur dari mulutnya. Dia nampak lesu, badannya yang kecil, berbeda dengan teman sebaya yang berumur 12 tahun. Dia hanya menekuk kedua kakinya ketika kusapa. Tidak ada senyum yang kuperoleh, tidak ada semangat yang kutangkap dari tatap matanya yang kosong. Sesekali aku mencuri pandang, namun dia tetap menunduk, tak ada suara.  Aku sempat memperhatikan kakinya yang masih sakit, seperti koreng. “Bagaimana sakit gatal-gatal di kakinya Yusran?” Aku memecah keheningan. Beberapa orang tua di rumah itu juga hanya diam, termasuk orang tua Yusran. Mereka sebenarnya ingin mendengar aku lebih banyak bicara, namun saya juga berharap mereka bisa cerita banyak kepada saya tentang kondisi Yusran yang selalu membisu, seribu bahasa.

Melihat kondisi itu, salah satu kerabatnya mencoba bicara kepada Yusran, tapi tetap saja diam. Hu! Repot juga nih. Aku berguman dalam hati. Akhirnya aku coba tanya ke orangtuanya langsung. Penjelasan mereka sama dengan penjelasan yang pernah kuperoleh. Yusran selalu sakit, hanya dua tiga hari sekolah, sakit lagi. Apalagi kalau sudah hujan, jalan becek sehingga ia tidak mampu mengayuh sepedanya. Menurut ibunya, dia tidak sekuat anak laki-laki lain, cepat capek. “Kalau pulang sekolah saya paling kasian Pak. Dia sering ditinggal temannya, dia takut melewati hutan sendirian.” Papar ibunya. “Kadang-kadang menangis sampai di rumah.” Bapaknya juga angkat bicara. Kali ini suasana sudah mulai cair, namun tetap saja dia membisu, diam dan hanya menggerak-gerakan topi ditangannya. Rupanya dia dan orang tuanya bersiap untuk pulang. Mereka datang naik perahu ketinting, sebutan untuk perahu cess di kampong dia.

Ketinting adalah sarana angkutan trasnportasi masyarakat di kampong Yusran. Baru saja bapaknya dan puluhan masyarakat lain mendapat bantuan mesin dari program pemerintah setempat. Tapi hanya sampai dipelabuhan, selanjutnya bila mau ke rumah sakit harus menggunakan angkutan kota.  

Pertemuan ini membuatku sedikit memahami kondisi penyakit Yusran. Aku tahu apa yang selanjutnya harus kulakukan. “Begini saja, bulan depan kita bawa Yusran periksa darah dulu untuk mengetahui penyebab sakit kepalanya.” Rencanaku,  sambil  melakukan komunikasi dengan kader kesehatan di kampong ibu untuk menghubungi pihak puskesmas setempat, aku juga berniat untuk mencari informasi lain, terutama langkah apa yang harus dilakuakn untuk mengetahui penyebab sakit kepalanya. “Buka apa-apa, kalau sudah sakit kepala dia hanya duduk sambil menangis. Bila ditanya, dia tidak menjawab.” Salah satu kerabatnya menambahkan informasi kepada saya.

Akhirnya, waktu yang disepakati tiba juga. Aku sempat ragu apa yang kulakukan, tapi karena banyak yang meminta saya membantu, terpaksa masalah ini tidak saya serahkan ke kader kesehatan. Aku tangani sendiri. Jam delapan pagi aku meluncur ke kampong Yusran. Namun, sebelum sampah ke kampong Yusran, entah mengapa aku tiba-tiba ingin bertemu dengan wali kelasnya. Aku agak khawatir karena sering tidak masuk sekolah dia tidak akan naik ke kelas delapan. Sayangnya, aku tidak bertemu dengannya. Bahkan Yusranpun tidak masuk sekolah hari itu karena sakit. Tapi saya ditemui oleh guru kimia dan guru konseling. Dari mereka aku mendapat cerita tentang bagaimana dia di sekolah. “Sebenarnya dipelajara kimia dia cukup pintar, bahkan bisa mengejar ketertinggalan pelajaran.” Lain halnya informasi yang kuperoleh dari guru lainnya bahwa apabila 16 kali tidak masuk tanpa pemberitahuan makan Yusran tidak dapat naik kelas. Pada semester lalui, satu hari sebelum ujian berakhir, dia tidak masuk, sakit lagi. Bahkan sampai penerimaan raport dia tidak datang untk mengiktui ujian susulan satu bidang studi. “Dia baru saja ambil rapor Pak, setelah libur selesai.” Pangkas salah seorang guru yang menyertai diskusi kami.

Diluar ruang guru aku melihat teman-teman Yusran sedang tidak belajar. Menurut guru mereka baru saja ada sosialiasasi dari bank BPD. Ini kesempatan untuk mencari tahu informasi tentang dia dari teman-temannya. Untungnya teman-temannya sangat ramah dan heboh. Mereka banyak bercerita tentang Yusran. Menurut mereka Yusran memang pendiam, kalau istirahat tidak ikut main seperti anak laki-laki lain. Dia biasanya hanya duduk. Hal yang sama bila pelajaran olahraga, guru meminta dia duduk saja. Tapi di sekolah dia dipanggil dengan nama lengkap, Yusrandani. “Dia anaknya jarang bicara, Om.” Entah siapa namanya berteriak dari belakang. Saat itu aku dikerumuni semua teman sekelasnya yang kebanyakan perempuan. “Kalau ke sekaloh sering diantar sama temannya, soalnya jalan kaki.” Seorang teman dia yang lain menyahut dari belakang. “Bukannya dia naik sepeda dari rumah?” Aku penasaran karena menurut ibunya Yusran naik sepeda ke sekolah dan saya juga pernah bertemu di jembatan, dia naik sepeda. “Kita dilarang pakai sepeda ke sekolah, Om.” Jelas teman lainnya dari sisi depan. Mereka menjelaskan kalau Yusran menyimpan sepeda di kampong tentangga, jarak dari sekolah kira-kira 3-4 km. “Jadi selama ini dia harus jalan kaki separuh jalan ke sekolah ya? Aku melanjutkan bertanya. “ Sebenarnya, Om ada Bis jemputan, tapi hanya sampai jalan aspal, terus Doni sering terlambat, jadi jalan kaki deh.” Sambar temannya yang lain. Yusran di sekolah juga sering dipanggil Doni, mungkin ada anak lain yang memiliki nama yang sama, sehingga selalu dikatakan Yusran Doni ya? Padahal nama yang kubaca di kartu jamkesmasnya adalah Yusrandani. Hal ini kuketahui ketika aku mencari dia di kelasnya.

Mereka juga mengenal Yusran sebagai anak yang baik, dan sebenarnya murah senyum. Mereka berharap, Yusran cepat sembuh dan masuk sekolah lagi. Teman-temannya sangat ramah, membuat saya betah ngobrol dengan mereka, namun saya harus kerumah Yusran untuk mengetahui kondisinya. Tidak perlu waktu lama untuk sampai kerumahnya. Ketika aku sampai, kumendapatinya sedang bermain dengan adiknya yang baru saja pulang sekolah. Sementara dia sendiri hari itu “alpa”, tidak masuk sekolah karena sakit lagi. Menurut ibunya, dalam mimggu itu, hanya satu hari masuk sekolah. “Dia sakit lagi, Pak. Jadi tidak sekolah lagi.” Aku tidak bertemu bapaknya yang sdeang mangambil banmu di kampong tetangga. “Halo, apa kabar? Kamu sakit ya Dik? Tadi saya mapir di sekolah kamu dan bertemu dengan teman sekelas kamu, mereka titip salam.” Dia hanya tersenyum dan kemudian tunduk. Tak lama, dia sudah menghilang dari pandanganku, rupanya dia masuk ke kamar. Dia tinggal dengan kedua orang tuanya di RT. 14 Salantuko Kelurahan Bontang Lestari. Di atas pintu aku melihat papan nama yang bertuliskan KK miskin dan nama kepala keluarga dibawahnya. Memang semua kepala keluarga di kampong itu masuk dalam data KK miskin. Rumahnya seukuran lapangan volley dengan satu kamar. Beberapa foto dan kalender caleg masih terpasang dididing kayu rumah itu. Tidak ada perabotan disana.

Tak lama kemudian, dia keluar lagi karena diminta oleh ibunya. Aku mencoba merayunya agar mau bicara. Aku mengeluarkan beberapa buah permen persahabatan tapi dia biarkan saja. Hari itu, kami sepakat untuk membawa ke rumah sakit, namun harus meminta surat rujukan dari puskesmas. Akupun mencoba menelpon kepala puskesmas setempat untuk memastikan ada dokter disana. “Bapaknya belum tahu kalau mau dibawa ke kota, berobat.” Ibunya mencoba mengingatkan saya. “Baik Bu, saya akan telepon bapak dan minta ijin. Setelah nomornya kusimpan di telepon gemgamku, aku langsung menghubunginya. Tak sulit mendapat ijin karena sebelumnya sudah dibicarakan dan dia juga yang mengusulkan agar anaknya di bawah berobat. “Silahkan saja, Pak. Saya ditempat kerjaan.” Jawabnya singkat ketika kuhubungi.  Tak lama kemudian, Bu Nasba muncul dan sudah siap berangkat, namun ibunya tidak ikut karena harus menjaga anak Bu Nasba. Menurutnya, selama ini Bu Nasba yang selalu mengantar berobat dan Yusran lebih menurut. “Kalau sama saya, dia sering menangis kalau ditanya macam-macam.” Kata ibunya ketika kutanya mengapa bukan dia yang menemani anaknya.

Kami menggunakan dua sepeda motor, aku meminta agar dia bersamaku agar lebih nyaman dan mau bicara padaku. Sedangkan Bu Nasba membawa motor sendiri supaya nanti tidak perlu saya antar pulang lagi. Dalam perjalanan, aku sesekali melempar pertanyaan, namun untuk kesekian kalinya harus kecewa karena tak ada jawaban yang kuperoleh. Tiga puluh menit kemudian, kami sampai di puskesmas dan langsung ke loket pendaftaran. Tidak perlu antri karena sudah siang dan pengujung lebih banyak di pagi hari. Setelah mendaftar kami langsung ke ruang periksa dokter dan mendapat beberapa penjelasan. Aku meminta surat rujukan untuk periksa darah untuk mengetahui penyebab  sakit kepalanya. “oh, tidak perlu, Pak. Disini sudah ada. Puskesmas ini lengkap, bahkan ada rawat inap karena sudah 24 jam.” Sang dokter mudah itu menjelaskan. “Baiklah kalau begitu, terima kasih.” Kamipun menuju ruang lain untuk mengambil sampel darah Yusran. Tak membuthkan waktu lama, namun kami harus menunggu sekitar 30 menit untuk mengetahui hasilnya. “Silahkan Bapak menunggu dulu di luar dan hasilnya nanti bisa dibawa ke dokter untuk konsultasi.” Demikian petugas laboratorium puskesmas itu memberi arahan.  Tidak perlu diminta dua kali, aku langsung mangajak Yusran ke ruang tungga dengan kursi yang berjejer. Kondisi puskesmas yang cukup bersih dan petugas yang ramah membuat kami cukup nyaman dan santai. Kesempatan itu aku gunakan untuk mulai menjajaki keberuntungan bicara dengannya. “Ayo, kita duduk disini saja. Kita harus menunggu hasi pemeriksaan darah. Kalau hasilnya sudah ada, dokter akan memberikan kita penjelasan mengapa Yusran selalu panas dan sakit kepala, bahkan cepat capek, lesuh dan raut wajah yang selalu nampak murung.” Akucoba memberikan penjelasan agar dia juga memiliki pengetahuan. Aku mengajak dia duduk disampingku, cukup dekat untuk bisa mengambil hatinya, namun aku tetap berusaha membuatnya nyaman. Sementara Bu Nasba, kerabatnya yang menemaniku duduk agak jauh untuk memberikan kami kesempatan bicara, dari hati ke hati.

“Kalau besar, kamu mau jadi apa?” Aku membuka percakapan, mencoba keberuntungan. Aku berharap hari ini dia mau bicara atau paling tidak mejawab pertanyaanku. Aku menunggunya, aku tidak terburu-buru untuk menanyakan pertanyaan lainnya.  Aku sudah tahu dia tak akan bicara. Masih belum ada jawaban, dia masih tertunduk. Aku memutar otak, aku coba mengganti topik pembicaraan. Aku memperlihatkan poster yang menempel di dinding. Saya minta dia melihat dan membaca poster itu. Aku lihat dia mengangkat wajahnya dan melihat kearah poster yang kutunjuk. Aku tahu dia menyimak dan mendengar, hanya saja tidak mau bicara. “Kamu suka pelajaran apa?” Tanyaku kembali, aku tidak mau menyerah sampai dia mengeluarkan suaranya. “IPA.” Jawabnya singkat dan hampir tak terdengar. Yes, akhirnya dia bicara juga, meskipun hanya singkat. “ O, IPA ya. “Memangnya cita-cita kamu mau jadi apa?” Aku mulai percaya dia hanya malu-malu. “Guru.” Yes, dia sudah langsung menjawab pertanyaanku, tanpa harus menunggu lama. “Kamu suka olahraga apa?” Kini aku bersemangat, ini kesempatan batinku. “Bulu tangkis.” Jawabnya singkat, namun kali ini suara sudah lebih jelas. “Memangnya kalau main, pake apa?” Aku menanyakan ini karena tidak ada raket yang terlihat saat berkunjung ke rumahnya. “Pake kayu.” Apa, kayu. Mm, aku berguman. Aku mendapat ide untuk membuat dia mau bicara banyak. Dia suka main bulu tangkis, pake kayu. Pasti dia akan senang kalau aku belikan sepasang raket. Aku sangat ingin melihatnya tersenyum, ceria seperti anak lain. Bila pulang sekolah, dia hanya bermain dengan adiknya di rumah. Sekarang dia punya sepeda, sesekali main sepeda.

“Yusrandani.” Terdengar panggilan dari dalam laboratorium, tempat darah Yusran diperiksa. Aku beranjak dan bergegas mengambil secarik kertas yang berisi hasil pemeriksanaan darahnya. Selanjutnya, kami menemui dokter untuk mendapat penjelasan.

“Begini, Pak. Anak ini ada gejala anemia dan  radang. Makanya dia kelihatan lesu. Coba bapak lihat bagian matanya putih tapi tepinya merah, itu salah satu tandanya dia kurang darah. “ Sang dokter mulai memberikan penjelasan. Dia menyebutkan beberapa istilah medis yang saya tidak hafal tapi saya faham maksudnya. Intinya, Yusran kurang makan sayur, sehingga disarankan menkonsumsi sayur yang banyak mengandung zat besi seperti kangkung dan bayam. Selama ini dia hanya suka makan indomie, pantas saja dia juga kena penyakt kulit. Dia alergi dengan makan sejenis itu. Sang dokter kemudian menuliskan resep obat untuk diambil di apotek. “Ini obatnya, kalau masih sakit dalam tiga hari ini silahkan datang kembali.” Akupun pamit setelah merasa cukup mendapat penjelasan dan berharap ada perubahan.

Diluar ruangan aku bertemu dengan kepala puskesmas dan kujelaskan tentang kasus Yusran. Dia menyarankan, bila orangtuanya kesulitan membawa ke puskesmas agar bisa membawa periksa saat pusling. Pusling adalah singkatan dari puskesmas keliling. Ini merupakan program penjangkauan kepada masyarakat di lokasi yang yang jauh atau terisiolasi. “Sekarang pusling sudah dua kali sebulan, Pak. Jadi masyarakat tidak perlu jauh-jauh bila akan memeriksakan kesehatannya.” Bahkan sekarang, ada bantuan alat dari program PNPM Peduli kepada kader kesehatan sehingga petugas kesehatan tidak perlu membawa alat bila melayani masyarakat di kampong. “Alat disana sudah ada, jadi kami hanya membawa obat saja.” Terang kepala puskesmas tersebut.  Saya juga mengutarakan pentingnya peran kader kesehatan untuk memantau dan mengajak masyarakat ke pusling. Bukan hanya mangajak untuk berobat tapi juga untuk berperilaku hidup sehat dan bersih atau PHBS.

“Kami harus pamit dulu, Pak.” Aku harus mengakhiri diskusi dengan kepala puskesmas tersebut karena takut Yusran kelaparan. Maklum, waktu makan siang sudah lewat.

Keluar dari puskesmas aku mencari warung makan, namun kami hanya menemukan warung yang menjual gado-gado. Sambil menunggu makanan disajikan, aku kembali menyerang Yusran dengan pertanyaan. “Yusran suka makan apa?” Aku tahu, dia sudah mau bicara denganku. Benar saja, dia langsung menjawab. Dia ternyata suka makan nasi goreng, bahkan dia sering membuat sendiri di rumah.

Sebenarnya, bukan hanya Yusran yang memiliki kasus sakit kepala. Aku mendapat informasi dari guru Yuran, ada anak dari kampong tentangga yang juga sering mengeluh sakit kepala. Kalau tidak salah namanya Asril. Informasi tersebut dibenarkan Bu Nasbah. “Anak itu bahkan pernah pingsan saat di laut.” Ya, aku bertemu dengannya siang itu, ketika aku akan menjemput Yusran. Dia mengenakan celana panjang berwarna biru. Aku bahkan sempat berbincang dengannnya.”U’deko massikola ne?” Aku menyapanya seperti seorang guru dan dia mau saja menjawab. Kebetulan aku bisa bahasa Mamuju, bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Aku bertanya, kamu tidak sekolah ya? “U’de. Soro’do yaku massikola.” Dia tidak seperti Yusran yang diam seribu bahasa. Temannya ini lebih komunikatif. Dia mengatakan bahwa dia sudah berhenti sekolah. “Kenapa kamu berhenti sekolah?” Saya tertarik mengetahui alasannya. Dia menjelaskan bahwa dia dinyatakan kangker oleh petugas  puskesmas. Tentu jawaban yang aneh bagi saya sehingga saya tidak percaya begitu saja. Bisa jadi, kasus penyakitnya sama dengan Yusran, gejala anemia sehingga sering pingsan dan cepat lelah.  Kalau dugaanku ini benar, maka menjadi indicator bahwa Yusran dan puluhan anak lainnya di kampung itu perlu mendapat perhatian khusus.

Kepala puskesmas setempat yang aku sempat ajak diskusi kasus ini sepakat dan untuk itu pula pelayanan pusling di kampong tersebut ditingkatkan menjadi dua kali sebulan. Saya juga telah mengkomunikasikan hal ini kepada Dinas Kesehatan dan siap bersinergi dengan program PNPM Peduli untuk melakukan edukasi PHBS. Bisa jadi, apa yang dialami Yusran yang didiagnosa mengalami gejala anemia dan gatal-gatal ini karena kurangnya pemahaman PHBS.

Berselang lima hari kemudian aku mendapat kabar kalau Yusran masih sakit kepala pada malam. Bahkan, menjelang sore sampai malam hari demam tinggi. Dia juga mengaku pusing. Aku putuskan untuk kembali membawanya ke puskesmas. Cuaca yang tidak bersahabat menyulitkan rencanaku. Beberapa hari ini selalu hujan, jalan menuju kampungnya tidak dapat dilalui kendaraan. Aku berfikir untuk lewat laut, namun gelombang dan angin kencang juga menjadi penghalang. Mungkin jalan keluarnya harus jalan kaki. Aku tak ingin masalah ini tertunda, aku ingin penanganan segera. Akhirnya tekad sudah bulat, Bu Nasba, tetangga Yusran akan membantu mengantar sampai jalan aspal. Ketika aku telepon bapaknya, Yusran tidak masuk sekolah lagi, katanya akan ke dokter pagi itu. Aku pastikan lagi agar Yusran sudah ijin ke sekolah agar alpa tidak bertambah.  

Sesuai jadual, Yusran sudah tiba di puskesmas sekitar pukul Sembilan pagi. Loket pendaftaran adalah tujuan pertama baru masuk ke ruang dokter. Sayangnya dokter jaganya berbeda, jadi harus menjelaskan ulang lagi kasusnya. Aku protes ketika akan diberi obat lagi dan minta kembali bila masih sakit. “Bu dokter, kami  capek kalau harus bolak-balik. Lagipula, anak ini harus sekolah.” Setiap periksa selalu diberi obat yang sama, penjeasan yang tidak memuaskan karena dokternya ganti. Nampak dokter itu berfikir dan keluar ruangan. Tak lama dia kembali. “Saya rujuk ke poly anak saja ya, Pak.” Akhirnya, dia merujuk juga kasus ini ke rumah sakit. Disana ada dokter spesialis anak dan spesialis lainnya. Sebenarnya ini yang aku minta sebelumnya, namun dokter puskesmas sepertinya masih mau observasi.

“Bu, besok perjalanan kita cukup jauh dan pemeriksaan di rumah sakit butuh waktu satu hari penuh. Saya berharap bisa jam 7 pagi sudah berangkat dari rumah.” Aku coba buat rencana bersama Bu Nasba. “Jadi, Yusran besok ijin lagi ya, Pak.” Minggu lalu, Yusran hanya masuk sekolah dua hari. Minggu ini, senin dan selasa sudah digunakan untuk berobat. Aku sebenarnya kasian juga sama dia, ketinggalan pelajaran. Tapi  harus bagaimana lagi, kami sudah bertekad minimal sampai ditangai dokter spesialis. Harapannya aku dan orang tuanya tahu penyebab sakit kepala dan demamnya. Tapi yang paling penting, tahu apa yang harus dilakaukan selanjutnya agar Yusran bisa tersenyum, bisa sekolah seperti anak lainnya.

Meskipun obat dokter puskesmas belum menyembuhkan  sakit kepala dan deman Yusran, tapi permen persahabatan cukup mujarab untuk membuatnya bicara padaku. Aku lihat dia sudah tidak canggung, begitu datang langsung duduk di dekatku. Ketika kutanya tidak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban, meskipun dengan suara yang masih lirih. Hampir tak terdengar.    

Besok kami akan bersama satu hari penuh di rumah sakit, aku berharap dokter bisa memberi dia “permen” yang mujarab, seperti permen yang kuberikan pada Yursan. Ayo Yusran, jangan menyerah, gapai cita-citamu untuk jadi Guru IPA.  


Kontak Person: Saparuddin (Senny), KBCF,08125516062
Tinggal di Bontang, Kalimantan Timur.