Sabtu, 25 Mei 2013

LAMPU UNTUK BU HERLINE

Remuk. Satu kata yang sering kugunakan di status bb ku. Workshop evaluasi PNPM Peduli di Kalimantan baru saja selesai dilakukan. Lebih lima puluh orang hadir untuk melakukan evaluasi terhadap program fase pertama atau fase pilot. Pagi ini, aku masih harus menunggu mereka cek out baru aku bisa balas dendam untuk mengganti jam tidurku. Aku harus bergandang untuk menyiapkan workshop yang dilakukan di hotel Mesra Internasional Samarinda itu. Untuk acara seperti ini, kesibukan luar biasa akan terjadi h-1. Ya, sekarang aku sedikit lega karena acara berlangsung sukses. Hanya menulis laporan untuk menuntaskan program fase ini. 

Badan yang terasa remuk tak menghalangiku untuk sarapan. Aku tahu, ceremoni sarapan tidak boleh aku lalaikan atau kampung tengah akan mengalami gangguan yang hebat. Di restoran hotel aku bertemu dengan rombongan dari Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka adalah salah satu penerima manfaat dan target  untuk program ini. Salah satu di antara mereka adalah Bu Herline, pengrajin anyaman rotan dari komunitas dampingan KBCF untuk program ini. Setelah selesai sarapan, mereka siap untuk berangkat ke bandara. Tapi untuk mengabadikan momen ini, kami berfoto. Heri, sang fotografer dadakan kami mulai beraksi. Dia sibuk memainkan kameranya, sesekali memberikan instruksi kepada kami. Ya, selesai, kata dia. Kamipun berdiri. Namun Bu Herline protes. Belum, belum selesai. Kami heran dan tanpa diperintah kami kembali duduk pada posisi awal. Sang fotografer kembali beraksi. Tapi Bu Herline masih saja protes. Lampunya belum nyala. Oooo.....

Minggu, 05 Mei 2013

Mereka yang bertahan dalam badai

Di kampung asal, bisa jadi rumah mereka lebih baik dari tempat tinggal mereka saat ini. Mereka sudah 3-4 tahun bekerja dan membuat pondok dilokasi kebun sawit.  Pondok rata-rata berukuran 2x meter. Demi rupiah, mereka meninggalkan rumah, kampung halaman dan keluarga. Apa hendak dikata, di kampung tidak ada lagi rupaiah yang bisa digenggam. 

Beberapa di antaranya terpaksa membawa serta anak mereka, tidak sekolah. Tidak kurang dari 50 anak usia sekolah terpaksa ngantuk di pemukiman buruh sawit ini. Aku telah bertemu kepala dinas pendidikan setempat. Sementara ini kami sepakat agar biasa buat sekolah filial disana. Rencananya kami, tahun pertama guru akan disiapkan oleh program yang kubaca, selanjutnya dinas pendidikannya akan programkan pada tahun 2014. Sayangnya perusahaan yang mempekerjakan mereka tidak dapat kami temui, semoga mereka terketuk nantinya. 

Tentu kami tidak akan membangun gedungnya, tapi bagaimana proses belajar bisa berlangsung. bukan hanya anak usia sekolah Dasar, anak remaja dan perempuan juga minta dibuatkan kejar paket. Wow, semangat mereka luar biasa. Motivasi mereka sederhana, mereka tidak bercita cita selamanya jadi buruh. Mereka berharap dengan sedikit bekal ijazah kelak bisa hidup dengan dapat pekerjaan lebih baik. bagi arang tua tidak berharap banyak, kecualinya bisa memberi makan anak dan dengan sekolah kanan kelak nasib mereka tidak seperti orang tuanya. 

Jumat, 03 Mei 2013

Parabola di Gubuk Derita

Pagi ini setelah mengurus tanamanku, aku kembali membuka laptop dan menemukan catatan laporan assesment PNPM Peduli yang belum aku sentuh. Kubuka satu map plastik dan teringat satu kejadian disebuah perkampungan, dilokasi assesmen. Aku tak sabar untuk menulisnya, takut lupa dan kehilangan moment. 

Ya, aku mau cerita tentang pemandangan yang berbeda. Jujur, rekomendasi lokasi assesmen program yang kubawa bukan ke lokasi ini. Entah mengapa, setelah diskusi dengan kepala desa yang direkomendasikan aku ingat satu perkampungan di wilayah yang sama. Kampung Kutai, itu adalah nama perkampungan penduduk yang terletak di Desa Santan Ulu. Disebut demikian karena mayoritas penduduknya adalah suku Kutai. Mereka adalah salah satu suku asli Kalimantan Timur, selain paser, dayak, dan Tidung. Setidaknya itu yang kutahu saat ini.

Suku Kutai di Desa Santan Ulu tinggal di satu dusun yang disebut Wira II. Saya belum sempat tanya mengapa di sebu demikian, kenapa nggak disebut Dusun Kutai saja. Kondisi yang berbeda yang kumaksud adalah ketika masuk di desa tersebut jalannya belum diseminisasi, jaringan PDAM belum nyampe, bilsa sakit mesti ke desa tentangga, mau urusan desa jauh, mau usaha nggak ada modal, mau bongkar muatan bingung, mau apa aja, sulit bagi  mereka.

Mereka pasrah, hanya menunggu. Berbeda dengan perkampungan sebelah. Jalan mulus, usaha berkembang, faslititas umum tersedia, rumah sudah cukup memadai, bahkan beberapa disebut mewah. Menurut kepala dusun, mereka belum kebagian giliran. Mestinya jalan mereka dulu yang dipoles tapi penduduk kampung sebelah protes, jadi mereka mengalah.

Pemandangan kedua yang berbeda dan bisa jadi "bahan" evaluasi bagi kita semua agar tidak terkecoh adalah setiap rumah ada parabola. Loh, emang nggak boleh? Masalah buat elu! Ya, nggak lah, tapi lihat dong rumahnya. Reot, atap daun nipah, dinding nggak jelas, jendela dari kain bahkan spanduk bekas, terima raskin. 

Penasaran dengan pemandangan itu, akupun menggali informasi. Ternyata, tv adalah satu-satunya hiburan di kampung itu sehingga setiap malam anak-anak dan orang tua berbondong-bondong Pak Dusun, satu-satunya warga yang memiliki tv saat itu. Banyaknya kasus digigit ular saat pergi dan pulang nonton tv tadi maka kebutuhan perbaikan rumah, pendidikan dan sandang pangan tereliminasi. Merekapun rela mencicil parabola dan tv untuk sekdar menemani kala malam menyapa. Maklum, belum ada jaringan tv kabel  ditempat terisolir seperti di kampung mereka. Jadi, parabola dan tv tidak dapat dijadikan indikator kesejahteraan di dusun ini.



Kamis, 02 Mei 2013

3 Cara Bongkar Muatan Secara Darurat

"Pak. Saya mau ke belakang." Kampung tengah terasa ingin mengeluarkan sesuatu. Bingung mencari kamar kecil, keringat dingin sudah membasahi wajahku sampai kuputuskan bertanya pada pemilik rumah. "Ini cangkulnya, ke kebun saja Nak." Oh, Tuhan, masak kita mau ke kemar kecil malah disuruh nyangkul. 

Dilain waktu, disebuah pemukiman nelayan. Serangan di kampung tengah datang lagi. "Maaf Bu. Saya mau ke kamar kecil." Sang ibupun menunjuk ke arah bilik yang tak berpintu. Aduh, bagaimana ini! Kan malu mau jongkok tapi ibu ada di dapur, bakal kelihatan. Terus, kan nggak enak dengan suara bomnya nanti, nggak ada perangkat silent atau getar saja. Masyarakat di kampung nelayan tersebut belum ada yang punya jamban berseptiktank, apalagi bersertifikat, hanya wc cemplung.

"Bu, ada tamu diluar. Penting mau ketemu ibu." Aku mendapat ide agar dia pergi dari depan bilik tempat aku jongkok. Sang ibupun bergegas, bermaksud menemui Sang tamu karanganku. Kesempatan itu tak kusia-siakan. Beruntung, rumahnya agak panjang sehingga waktu kurasa cukup untuk bongkar muatan. Tak lama Sang ibu muncul dan sedikit mengomel karena tamu yang dimaksud tidak dia dapatkan. "Mungkin keburu pulang Bu." Aku menghiburnya.

"O, ada tamu ya. Tadi kirain siapa yang lagi bongkar muatan." Aku dikejutkan suara Pak RT dari bawah. Dia sedang mandi dengan air laut sebelum membilas badan dengan air tawar. Mereka  harus berhemat air karena sulit mempereolehnya. "Ya Pak. Saya numpang bongkar Pak. Sudah penuh nih. Maaf ya Pak." Aduh, aku berhasil mengelabui Sang Ibu, eh malah Sang bapak ada dibawah. Kena' deh.

Dua peristiwa itu terjadi disaat aku melakukan assesment PNPM Peduli di Kalimantan. Bila di kereta api aku pernah lihat orang bawa kursi atau koran untuk duduk karena tidak dapat kursi, mungkin saya akan bawa jamban ke sana, saat assesmen karena nggak ada jamban. Mau bongkar muatan aja susah nian, sampai harus menunggu malam gelap. Lah, mereka ketika mau melakukan ceremoni itu santai banget. Datang, duduk langsung selesai, pergi bawa cangkul, gali lubang, jongkok lalu tutup lagi, selesai.  

Ada banyak cara mereka membongkar muatan karena tidak punya jamban keluarga ataupun wc umum. Ada yang pake keresek baru lempar, adapula yang pake jongkok di kebun pisang sambil berlari karena muatan takut disambar bebek. Kalau yang disambar muatan hasil bongkaran nggak sampai masuk rumah sakit tapi kalau yang lain?

Wah, tidak kebayang kalau presiden yang pesawatnya harus mendarat darurat di kebun sawit dan mau bongkar muatan tapi diberi cangkul seperti saya. Pasti sesampainya di istana langsung keluar instruksi untuk pembuatan program 1 milyar jamban untuk KK miskin. Tapi kalau nggak ada presiden yang mendarat darurat minimal sudah masuk program PNPM Peduli lah.

Rusuh Bersama Bu Vinny di Makassar

Makassar, 2012. Aku tidak begitu yakin dengan tahun yang kutulis ini tapi aku yakin bahwa ini adalah satu-satunya acara PSF yang kuikuti. Banyak cerita, cemooh dan juga canda tawa. Aku bertemu dengan banyak orang baru, disamping keterbatasan Bu Vinny mengelolah acara tapi membawa kesan selangit. Kemasan acaranya penuh kejutan, kadang kecewa tapi akhirnya bahagia. 

Pembukaan yang datar, sedikit membosankan namun celoteh peserta membuat suasana ceria. Sesekali terdengar nyeletuk Mas Dwi yang nggak enak tapi menghibur. Bukan itu saja, MOP dari Papua jadi hidangan khas setiap pertemuan Mitra PNPM Peduli. Bertemu dengan beranekaragam dan warna orang disana, bertukar cerita dan derita, seakan lupa dengan kondisi masyarakat dampingan yang penuh keterbatasan. Bertemu dengan mereka yang penuh semangat, penuh gagasan dan penuh cinta. Aku masih  ingat banyak nama tapi juga sudah yang terlupa. Tapi aku tak pernah lupa dengan ceremoni penutupan yang begitu hangat. Cahaya lilin dan lagu kemesraan seakan menjadi memontum penuh hasrat, hasrat akan mimpi membuat masyarakat, komunitas dan orang yang terpinggirkan mendapat sedikit perubahan, sedikit perhatian, sedikit saja. 

Aku masih ingat comment temanku hari ini di jejaring sosial. Dia nun jauh disana, di tanah Papua. Dia tak sabar untuk bertemu, sekadar berjabat tangan, bercanda dan bertukar buah tangan. Satu lagi di Kalbar yang jarang menyapa tapi sering menitip pesan, sekadar halo.  Yap, mungkin moment seperti itu tak akan terulang tapi moment seru lainya akan datang bersama PNPM Peduli. Aku bahkan sempat berfikir, bagaimana kalau kita tidak dengan program ini lagi. Apakah  masih bisa tercipta jalinan rasa yang begitu kuat, begitu tulus? Hanya waktu yang akan menjawab.

Salam hangat untuk semua yang ada di foto diatas, semoga Bu Vinny dan PSF bisa mempertemukan kita lagi untuk seru-seruan, sampai rusuh.

Pulau Gusung: Kampung Nelayan di Tepi Hutan Bakau


Pulau Gusung, sebuah pemukiman nelayan diatas air. Pulau hanya sebutan setempat karena ada daratan di tengah laut, bukan menggunakan definisi UNCLOS. Sebenarnya pulau itu bukan alami tapi berasal dari tumpukan material pasir laut hasil pengerukan alur kapal perusahaan PT. Pupuk Kaltim Tbk tahun 80-an. Sementara Gusung adalah sebutan untuk daratan yang muncul saat air surut dan akan tenggelam ketika air pasang. Hingga kini sebutan Pulau Gusung untuk pemukiman nelayan tersebut melekat dan dijadikan sebuah RT. Pemukiman yang dihuni 77 KK tersebut semuanya nelayan.

Sebenarnya tahun 2003, aku pernah melakukan kegiatan disana, namun hanya setahun lalu kami pergi. Saat itu penduduknya tidak lebih 20 KK. Ketika aku datang untuk assesmen PNPM Peduli kudapati rumah yang semakin banyak, namun tetap saja kumuh. Tiang rumah berasal dari kayu bakau, lantai dan dinding dari kayu sobetan, istilah untuk papan sisa. Tidak ada jamban keluarga, tidak ada sumber air bersih, penerangan dari lampu jenset. Menurut Udin, ketua RT setempat, dulu ada tandon dan perahu yang rutin mengantar air, tapi tersangkut kasus korupsi sehingga program tersebut berhenti. Kondisi rumah reot tidak layak huni juga menjadi pemadangan tersendiri di kampung itu.  "Walikota dan Sekda berjanji dengan kami saat mereka berkunjung kesini." Ketua RT menjelaskan kalau sebenaranya mereka pernah dijanji untuk bantuan rehab rumah.

Pulau Gusung berbentuk opal dengan luas kira-kira dua kali lapangan sepak bola. Disekeliling pulau itu beridiri rumah-rumah yang membelakangi laut. Sebenarnya, pemukiman itu cukup menarik untuk dijadikan salah satu tujuan wisata, rekreasi keluarga. Ada pemandangan mangrove dan laut terbuka, hutan mnagrove dan industri pupuk dari laut. Lebih menarik bila malam hari dengan lampu-lampu perusahaan. Seperti melihat singapur dari Batam. 

Sayangnya, perhatian pemerintah agak kurang disana, berbeda dengan tiga pemukiman nelayan serupa yang terletak di Selatan Pulau Gusung. Bahkan, keberadaan 3 pemukiman tersebut baru 10 tahun yang lalu. Satu yang saya yakini bahwa inisiatif dan model kepemimpinan RT sangat berperan, kedua pendampingan memang diperlukan untuk menunjukkan how to do it. Itu juga yang "mungkin" membedakan kondisi berbeda dengan 3 pemukiman serupa dengan Pulau Gusung.

Pemukiman nelayan diats air berawal dari nelayan yang tidak kuat mendayung pulang pergi ke darat setiap hari. maklum, dulu belum ada mesin seperti yang dikenal sekarang. Bila ada juga tidak terjangkau nelayan tradisonal seperti mereka. Bermula dari pondok ukuran 2x3 meter, kemudian dua pondok berkembang menjadi 10 pondok dan menjadi sebuah RT yang dihuni antara 50-100 KK. Mereka datang dari Sulawesi Barat, satu persatu setia tahun denga status miskin karena jelas tidak punya rumah, tdaik punya pekerjaan, tidaki ada modal untuk berusaha dan tidak skill untuk bekerja diperusahaan. jadilah mereka nelayan, ya nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya modal "dengkul."

Beberapa hari makan beras raskin bersama mereka tentu tidak asing bagi saya, tapi aneh ketika 10 menit dari kampung itu berdiri perusahaan multinasional dan mereka tetap saja miskin. Apakah PNPM Peduli bisa sedikit membuka akses agar mereka lebih baik dari hari ini. Saya yakin, perusahaan sudah memberi banyak, pemerintah sudah merencakaan pembangunan, namun mungkinkan ada yang salah pada proses atau pada masyarakatnya?




Rabu, 01 Mei 2013

Si Miskin dari Tepi Hutan Kalimantan


Dalam satu pertemuan dengan seorang pejabat di Kalimantan, dia menekankan agar saya menggunakan data kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS. Sebenarnya saya mau bilang kalau saya nggak percaya data BPS. Ketika ke lapangan,  saya menemukan kampong semua KK menerima beras raskin. Satu orang berhasil saya verifikasi, rumahnya bagus karena terbuat dari beton dengan ukuran 10x8 meter, ada kendaraan roda dua dan roda empat, ada usaha, ada penghasilan tetap. Orang tersebut sampai saat ini masih menerima beras raskin.

Di tempat lain, saya juga bertemu dengan orang yang menerima beras raskin padahal punya kendaraan roda empat, punya penghasilan tetap dan usaha. Dia mengaku bahwa ada kesepakatan agar beras raskin dibagi rata untuk semua warga.

Saya jadi bingung, bagaimana BPS menentukan siapa dan dimana si miskin. Siapa yang berhak menerima beras raskin dan siapa yang tidak? Bagaimana BPS menerapkan 14 indikator yang BPS miliki, sehingga masih ada orang yang menurut saya tidak pantas di sebut si miskin.  

Di lain waktu, saya juga membaca surat kabar local yang memberitakan bahwa kantor lurah disegel warga. Awalnya saya kira sengketa lahan, ternyata sengketa raskin. Warga tidak terima namanya dicoret dari daftar penerima beras raskin. Wah, bangga ya  disebut orang miskin.

Bagaimana cara membedakan orang yang miskin dengan yang pura-pura miskin?  Ada nggak ya alat untuk mendeteksi  siapa si miskin? Terus terang, saya tidak yakin program pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan ketika masalah raskin saja secara nasional nggak bisa diselesaikan.

Sementara di tepi hutan Kalimantan yang lain, saya menemukan petani yang menghasilkan beras yang bagus,  “didiagnosa” menderita penyaki Si Miskin, mereka pun mendapat beras raskin sebagai obat pelipur lara. Warna dan rasanya nggak jelas bagi saya. Ketika saya tanya mengapa mereka mau menerima beras tersebut jawabannya sederhana, lumayan bisa  dijual dan dapat rupiah.

Menurut saya, kemiskinan ini ibarat penyakit yang akut, sudah komplikasi, penyebabnya banyak sehingga penanganannya juga harus multidimensi. Menangani masalah kemiskinan bukan hanya bicara bagaimana Si Miskin memenuhi kebutuhan berasnnya sehingga diberi beras, tapi ternyata sudah menjadi penyakit social. Rupanya “dokter” kemiskinan pemerintah belum berhasil mendiagnosa penyakit Si Miskin yang satu ini.

Dalam perjalanan saya menelusuri tepi hutan Kalimantan, kutemukan  jejak Si Miskin di mana-mana. Ada yang berada diperkebunan sawit, komunitas adat, kelompok perempuan terisolir, petani yang tidak bisa dapat pupuk, anak-anak petani yang tidak bisa melanjutkan sekolah dan petani yang “hampir” kehilangan lahannya karena tergadai di bank oleh oknum.

Parahnya lagi, penyakit Si Miskin  ada juga yang secara langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Di tepi hutan Kalimantan kutemukan desa yang semua wilayah desanya sudah menjadi hak guna usaha (HGU) dua perusahaan sawit. Lalu, kemana Si Miskin akan pergi?  Seorang kepala desa memberiku jawaban, “Mereka tidak akan kemana-mana.” Sementara di tepi hutan lain kuperoleh jawaban yang berbeda, “ Mereka tetap disini dan penyakit kemiskinannyaa akan diwariskan ke anak cucu mereka.”

Dalam penangangan masalah Si Miskin oleh pemerintah belum fokus menentukan siapa Si Miskin, apa penyakit yang sedang di derita Si Miskin.  Meskipun sudah ada 14 indikator, tapi dilapangan nggak dipakai. Cukup minta rekomendasi tentangga. Akibatnya satu kampong didiagnosa menderita penyakit Si Miskin. “Kan nggak enak kalau Si A tidak dimasukkan di daftar.” Salah satu ketua RT yang ketemui di tepi hutan memberiku jawaban aneh. Ada juga yang beralasan karena kesepakatan warga. Ketika kutanya apa kriterianya mereka disebut KK miskin, dia juga tidak tahu. Pantas saja pejabat tadi selalu marah-marah karena data kemiskinan tidak kompak. Data dari Pemberdayaan Masyarakat beda, PNPM Mandiri dan BPS tidak sama.

Sebenarnya kami yang membawa program PNPM Peduli memiliki alat deteksi yang cukup baik. Lebih  sederhana dan aplikatif, mudah digunakan dan menggunakan tenologi tepat guna. Beberapa teman yang ikut mendengar cerita dan derita Si Miskin mencoba meramu alat deteksi ini. Alat tersebut disebut PPAM (Partisipatory Poverty Assesment and Monitoring). Alat ini perpaduan dari beberapa alat yang sudah digunakan sebelumnya. Alat ini bisa mendektiisi siapa dan dimana Si Miskin. Sayangnya, pihak yang berwenang belum tertarik untuk menggunakan alat ini, padahal gratis. Kalau dijual mungkin mereka mau ya?