Dalam satu pertemuan dengan seorang pejabat di Kalimantan, dia menekankan
agar saya menggunakan data kemiskinan Badan Pusat Statistik atau BPS. Sebenarnya
saya mau bilang kalau saya nggak percaya data BPS. Ketika ke lapangan, saya menemukan kampong semua KK menerima beras
raskin. Satu orang berhasil saya verifikasi, rumahnya bagus karena terbuat dari
beton dengan ukuran 10x8 meter, ada kendaraan roda dua dan roda empat, ada
usaha, ada penghasilan tetap. Orang tersebut sampai saat ini masih menerima
beras raskin.
Di tempat lain, saya juga bertemu dengan orang yang menerima beras
raskin padahal punya kendaraan roda empat, punya penghasilan tetap dan usaha.
Dia mengaku bahwa ada kesepakatan agar beras raskin dibagi rata untuk semua
warga.
Saya jadi bingung, bagaimana BPS menentukan siapa dan dimana si
miskin. Siapa yang berhak menerima beras raskin dan siapa yang tidak? Bagaimana
BPS menerapkan 14 indikator yang BPS miliki, sehingga masih ada orang yang
menurut saya tidak pantas di sebut si miskin.
Di lain waktu, saya juga membaca surat kabar local yang memberitakan
bahwa kantor lurah disegel warga. Awalnya saya kira sengketa lahan, ternyata
sengketa raskin. Warga tidak terima namanya dicoret dari daftar penerima beras raskin.
Wah, bangga ya disebut orang miskin.
Bagaimana cara membedakan orang yang miskin dengan yang pura-pura
miskin? Ada nggak ya alat untuk
mendeteksi siapa si miskin? Terus
terang, saya tidak yakin program pemerintah mampu mengatasi masalah kemiskinan
ketika masalah raskin saja secara nasional nggak bisa diselesaikan.
Sementara di tepi hutan Kalimantan yang lain, saya menemukan petani
yang menghasilkan beras yang bagus, “didiagnosa”
menderita penyaki Si Miskin, mereka pun mendapat beras raskin sebagai obat
pelipur lara. Warna dan rasanya nggak jelas bagi saya. Ketika saya tanya
mengapa mereka mau menerima beras tersebut jawabannya sederhana, lumayan bisa dijual dan dapat rupiah.
Menurut saya, kemiskinan ini ibarat penyakit yang akut, sudah
komplikasi, penyebabnya banyak sehingga penanganannya juga harus multidimensi.
Menangani masalah kemiskinan bukan hanya bicara bagaimana Si Miskin memenuhi
kebutuhan berasnnya sehingga diberi beras, tapi ternyata sudah menjadi penyakit
social. Rupanya “dokter” kemiskinan pemerintah belum berhasil mendiagnosa
penyakit Si Miskin yang satu ini.
Dalam perjalanan saya menelusuri tepi hutan Kalimantan, kutemukan jejak Si Miskin di mana-mana. Ada yang berada
diperkebunan sawit, komunitas adat, kelompok perempuan terisolir, petani yang
tidak bisa dapat pupuk, anak-anak petani yang tidak bisa melanjutkan sekolah
dan petani yang “hampir” kehilangan lahannya karena tergadai di bank oleh
oknum.
Parahnya lagi, penyakit Si Miskin ada juga yang secara langsung disebabkan oleh
kebijakan pemerintah. Di tepi hutan Kalimantan kutemukan desa yang semua
wilayah desanya sudah menjadi hak guna usaha (HGU) dua perusahaan sawit. Lalu,
kemana Si Miskin akan pergi? Seorang
kepala desa memberiku jawaban, “Mereka tidak akan kemana-mana.” Sementara di
tepi hutan lain kuperoleh jawaban yang berbeda, “ Mereka tetap disini dan penyakit kemiskinannyaa akan diwariskan ke anak cucu
mereka.”
Dalam penangangan masalah Si Miskin oleh pemerintah belum fokus menentukan siapa Si Miskin, apa penyakit yang sedang di derita Si
Miskin. Meskipun sudah ada 14 indikator,
tapi dilapangan nggak dipakai. Cukup minta rekomendasi tentangga. Akibatnya
satu kampong didiagnosa menderita penyakit Si Miskin. “Kan nggak enak kalau Si
A tidak dimasukkan di daftar.” Salah satu ketua RT yang ketemui di tepi hutan
memberiku jawaban aneh. Ada juga yang beralasan karena kesepakatan warga. Ketika
kutanya apa kriterianya mereka disebut KK miskin, dia juga tidak tahu. Pantas
saja pejabat tadi selalu marah-marah karena data kemiskinan tidak kompak. Data
dari Pemberdayaan Masyarakat beda, PNPM Mandiri dan BPS tidak sama.
Sebenarnya kami yang membawa program PNPM Peduli memiliki alat
deteksi yang cukup baik. Lebih sederhana
dan aplikatif, mudah digunakan dan menggunakan tenologi tepat guna. Beberapa
teman yang ikut mendengar cerita dan derita Si Miskin mencoba meramu alat
deteksi ini. Alat tersebut disebut PPAM (Partisipatory
Poverty Assesment and Monitoring). Alat ini perpaduan dari beberapa alat
yang sudah digunakan sebelumnya. Alat ini bisa mendektiisi siapa dan dimana Si
Miskin. Sayangnya, pihak yang berwenang belum tertarik untuk menggunakan alat
ini, padahal gratis. Kalau dijual mungkin mereka mau ya?