Aku harus tergesa-gesa berjalan, bahkan
setengah berlari karena petir dan guntur terus mengejarku. Mereka
bersahut-sahutan dengan suara yang menggelegar dan sesekali melempar kilat. Langit
gelap sejak aku tinggalkan rumah pertanda hujan akan turun, meski sampai aku
tiba di jembatan titian ini tidak setetes airpun terjatuh. Itu baik buatku
karena aku tidak berniat membuka jas hujan yang kulipat rapi di jok motor matik
isteriku yang terpaksa aku tunggangi untuk mengejar waktu. Biasanya aku naik perahu
cess. Perahu yang terbuat dari dua lembar papan dan hanya dapat dimuat maksimal
4 orang dewasa. Sangat kecil karena bila ombak cukup besar seluruh penumpang
akan basah.
Sejurus kemudian aku sudah ada diatas kayu
bulat yang didempetkan, sekilas sedikit mengerikan karena berada diatas air
laut yang sedang pasang, sendirian ditengah hutan mangrove dengan langit gelap
dan petir menggelegar. Motor hanya sampai disitu saja karena kampong tujuanku
kali ini dipisahkan oleh sungai dan hutan mangrove. Mangrove adalah sebutan
untuk hutan yang ada di pesisr laut. Jembatan itu tidak panjang, hanya
kira-kira dua kali ukuran lapangan bola tapi cukup jauh untuk meniti dua kayu
bulat yang tidak kokoh. Aku berlari bukan karena takut, tapi mengejar waktu
agar tidak bertemu hujan yang nampaknya tak sabar untuk membasahi bumi.
Aku harus memperhatikan langkahku, tapi rasa penasaran membuatku selalu melihat ke
atas, menyaksikan langit hitam pekat yang dihiasai kilatan-kilatan petir,
menjadi pemandangan tersendiri. Brak!
Ups, kakiku menginjak salah satu kayu yang sudah rapuh dan langsung patah. Aku
jatuh terduduk dengan satu kaki sudah tercelup air laut. Aku juga tak dapat
langsung berdiri karena pahaku sudah terjepit. Sebenarnya aku berharap ada
orang lain melintas, aku tidak berharap
untuk ditolong tapi meniti jembatan ini terasa sangat lama, padahal aku sudah
berlari-lari kecil.
Aku berhasil menarik kakiku dari air dan
berdiri, berniat melanjutkan perjalanan tapi lagi-lagi perhatian teralih pada
satu sosok yang menarik. Ya, aku melihat segerombolan kera yang berpelukan karena
ketakutan. Rupanya kera-kera itu masih kecil, sepertinya mereka tersesat atau
kehilangan induknya. Ah, sayang aku tak membawa kamera tapi sudahlah aku juga
tak dapat berbuat apa-apa untuk menenangkan mereka. Aku khawatir mereka tambah
takut dengan kehadiranku. Aku melanjutkan langkah kakiku yang sudah mulai
melambat, ototku sudah terasa nyeri dan tak dapat megayuh langkaku lebih cepat
lagi. nafasku sudah satu-dua, aku putuskan untuk berjalan santai, kalau aku
harus kehujanan, ya sudahlah.
Beberapa meter melangkah, aku merasa ada yang
mengikutiku, tapi aku tak melihat apa-apa. Penasaran dan bulu kudukku mulai
berdiri, aku berhenti dan menoleh. Huh, ternyata seorang anak muncul diujung
jembatan. Meskipun kaget, tapi aku senang karena mendapat teman perjalanan. Kelihatannya
dia juga memang takut, wajahnya pucat dan nampak sesekali menarik nafas
panjang. Sepertinya tadi dia juga berlari untuk sampai dijembatan ini, tidak
mau kehujanan seperti diriku.
Aku berhenti, menunggunya. Aku sudah
mempersiapkan kata-kata untuk menyapanya. Khawatir dia takut padaku karena
belum kenal. Biasanya, anak-anak yang bertemu orang asing enggan berbicara,
bahkan akan menghindar. Aku tak ingin begitu. Hi Dik, nama kamu siapa? Kamu
baru pulang sekolah ya? Tinggal dimana? Ya, tiga kalimat tanya itu sudah
kususun rapi dan akan kukatakan ketika dia sampai di dekatku. Namun aku kecewa
karena tak satu pertanyaannku dia jawab. Dia hanya tertunduk, sambil
mempermainkan tali tas sekolahnya. Anak ini rupanya tipe pemalu atau mungkin
bisu? Ah sudahlah, dari pada kehujanan aku mempersilahkan dia berjalan duluan.
Aku mengikutinya sampai diujung jembatan dan
dia berbelok kearah kampong yang disebut
Salantuko. Ya, satu pertanyaanku terjawab. Dia tinggal di perkampungan itu yang
merupakan salah satu lokasi program PNPM Peduli yang aku fasilitasi di
Kalimantan Timur. Namun aku belum tahu
namanya. Kami berpisah di persimpangan jalan setapak karena aku akan ke kampong
sebelah. Untuk mencapai kampong tersebut biasanya lewat laut karena sedikit
terpisah dari darat, dikelilingi hutan mangrove, namun hari ini aku pergi
mendadak dan tak ada masyarakat yang dapat menjemputku seperti biasa.
Akses darat sudah ada, namun baru jalan
setapak dan jembatan titian dari kayu bulat yang masyarakat terpaksa bangun.
Sebelumnya, puluhan anak-anak harus membuka celana dan baju mereka untuk ke
sekolah karena tidak ada jembatan. Setiap pagi mereka menempu jalan beberapa
kilometer, melewati pematang empang, bila air pasang, seragam merah putih harus
dibungkus dan dimasukkan tas agar tidak basah.
Tak lama kemudian, aku sampai di Loktunggul,
tujuannya hari ini. Aku langsung ke sebuah rumah tua, sudah reot dan dijadikan
secretariat kelompok perempuan yang aku dampingi. Ketua kelompok dan beberapa
anggota lainnya sudah menungguku. Setelah beristirahat kamipun berdiskusi, tapi
aku masih penasaran dengan teman perjalananku hari ini. Aku menceritakan
kejadian itu dan ternyata mereka mengenalnya. Anak itu namanya Yusrandhani,
dipanggil Iccang tapi beberapa temannya memanggilnya Yusran. Menurut mereka dia
anak yang sejak kecil sudah sakit-sakitan sehingga berbulan-bulan pernah tidak
sekolah.
Aku jadi ingat, Pak RT pernah menceritakan
hal ini kepada saya tahun lalu. Meskipun anaknya sakit-sakitan, sering tidak
masuk sekolah namun bisa mengejar dan mengikuti pelajaran yang tertinggal. Menurut
Pak RT kalau sakit, seluruh kaki dan tanganya bersisik. Sudah bolak-balik ke
puskesmas tapi tidak sembuh sampai akhirnya orang tuanya membawa ke Sulawesi
untuk berobat alternative.
Setelah kejadian itu, kami tidak pernah
bertemu lagi ataupun mendengar kabar dari orang yang kutemui. Namun, baru-baru
ini setelah enam bulam pertemuan kami terakhir kami bertemu kembali ditempat
yang sama. Bedanya jembatan titian sudah diganti dengan jembatan ulin empat meter,
diapun sudah memakai sepeda ke sekolah. Namun tetap dengan muka yang pucat dan
tidak mau bicara. “Hi, ketemu lagi.” Aku menyapanya dengan percaya diri, aku
harus membuatnya berbicara dan memberitahukan sendiri namannya padaku. Dia
berhenti, menurunkan satu kakinya dari sepeda. “Nama kamu siapa? Baru pulang
sekolah ya?” Ah, rupanya basa basih yang kulempar untuk bekenalan dengannya tak
jua membuakan hasil. Aku mengeluarkan permen dari tas kecilku, jurus pamungkas.
Aku memang selalu membawa permen bila bepergian ke lapangan. Aku tidak merokok,
jadi bila bertemu orang baru aku tidak menawarkan rokok, tapi permen. Permen
persahabatan. Dia mengambil satu biji. “Ayo ambil saja semua, Dik.” Dia
malu-malu dan tetap tertunduk.” Aku masukkan semua permen yang kugenggam ke
saku bajunnya. Baju seragam putih dan celana biru tua itu sudah nampak lusuh
dan kotor. Mungkin karena terkena lumpur di jalan. Dia tidak menolak. Sip, ini
artinya dia menerimah berpemintaan persahabatanku.
Karena jembatannya baru, banyak ibu-ibu dan
anak sekoah yang melintas dari kampung sebelah. Aku tambah penasaran ketika
permen kusodorkan tak juga dapat membuatnya bicara. Seorang ibu yang juga
anggota kelompok yang kudampingi membantu dengan bahasa mereka. Mereka
menggunakan bahasa Mamuju, dari Sulawesi Barat. Meraka datang dan bermukim di
daerah tersebut sekitar tahun 70-an.
Anak itu tak juga mengeluarkan suara, hanya
mengangguk, tanda dia mau menerima saran ibu tesebut. Kebetulan bahasa daerah
mereka aku faham dan dapat menggunakannya. Kufikir dengan menggunakan bahasa
mereka, dia akan bicara padaku tapi tetap saja dia membisu. Lagi-lagi ibu tadi
membantu dengan mengatakan bahwa dia
memang jarang bicara, apalagi dengan orang baru. Agak lama kami ditempat itu
bercakap-cakap sebelum mereka melanjutkan perjalanan.
Tujuan saya hari ini memang hanya untuk
mengambil gambar jembatan yang baru selesai dibangun pemerintah setempat,
mengganti jembatan titian yang mereka bangun beberapa bulan lalu. Namun, ketika
kami mau berpisah jadi teringat dengan kondisi teman baruku itu. Aku terpaksa
menahan mereka lagi dan berbicang-bincang tentang perkembangannya. Kebetulan
dalam program PNPM Peduli ini kami juga ada aktiftas memfasilitasi kesehatan
dasar bagi masyarakat. Melalui program PNPM Peduli kami sudah bekerjasama
dengan puskesmas setempat untuk melatih 12 kader kesehatan. Kader kesehatan ini
sudah mulai membantu pelayanan petugas puskesmas keliling dua bulan sekali,
bahkan rencana berikutnya mereka akan bantu untuk sosialiasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada masyarakat
setempat.
Yusran ternyata salah satu anak anggota
kelompok dampinganku. Dari perbincangan itu kuketahui bila penyakit gatal-gatal
yang dideritanya beberapa bulan lalu sudah ada perubahan setelah berobat
alternative, meskipun koreng dibagian kaki masih jelas terlihat ketika dia
menggunakan celana pendek. Namun sekarang dia sering mengeluh sakit kepala dan
deman dimalam hari sehingga sering bolos sekolah. Menurut mereka, Yusran sudah
dibawa berobat, namun tetap saja sakit kepala. Dokter yang memeriksanya hanya
memberinya obat turun panas.
Rupanya orang tua Yusran tidak puas dengan
pengobatan puskesmas setempat. Hal kuketahui ketika pada kesempatan lain saya
bertemu dengan Ibu Masba, masih kerabat Yusran yang juga tentangga depan rumah.
Hal yang sama juga diuangkapkan salah satu ketua kelompok dampinganku, “Sebenarnya,
kami bingung Pak harus bagaimana karena sudah bolak-balik ke puskesmas tapi
tidak ada perubahan.” Seluruh masyarakat Bontang bila berobat ke puskesmas dan
rumah sakit tidak perlu bayar karena ada jamkesmas untuk masyarakat miskin dan
jamkesda untuk masyarakat umum. Namun, kurangnya pehamanan dari sebagian
masyarakat menyebabkan mereka malas berobat. Bila sudah berobat lebih dari
sekali mereka kemudian berpendapat obat dari dokter tidak manjur. Apalagi bila
harus bolak-balik ke kota memerlukan biaya. “Kalau tidak ada perubahan, kenapa
tidak periksa darah saja Bu?” Aku memberi saran ketika aku bertemu dengan ibu
Yusran tapi dia hanya tersenyum, tersipu-sipu. “Kalau mau ke rumah sakit, kami
tidak ada biaya Pak. Apalagi kalau harus bolak-balik.” Lanjutnya.
Letak rumah sakit memang cukup jauh untuk
ukuran orang tua Yusran yang hanya buruh harian. Sudah beberapa bulan ini
berhenti budidaya rumput laut karena terserang penyakit. Modalnya usaha terpaksa
dibelikan sepeda untuk Yusran yang bersekolah diluar kampong. Maklum, belum ada
SMP di kampungnya. Dia dan beberapa anak lain dari ampung tersebut sebelumnya
harus berjalan kaki, namun dengan adanya jembatan yang dibangun pemerintah
setempat sedikit membantu anak sekolah.
“Pak, bagaimana ini. Kami bingung mengatasi
penyakit Yusran. Selang beberapa hari, sakit lagi. Apakah Pak Senny bisa bantu
cari solusi?” Begitu kira-kira sms yang kuterima dari salah satu ketua kelompk
disana. Aku kemudian menelpon ke tentangga Yusran yang biasa menemaninya
berobat ke puskesmas. Aku berjanji untuk mencoba membantu setelah ada waktu
main ke kampong. Jarak rumahku dan kampong Yusran sebenarnya tidak jauh, hanya
butuh waktu satu jam bila cuaca baik, namun aku jarang dirumah. Masih keliling
di daerah dampingan lainnya yang tersebar di beberapa lokasi di Kalimantan. Sementara
itu, aku menghubungi kader kesehatan setempat dan minta agar Yusran bisa diperiksa
saat puskemas keliling.
Berselang satu bulan kemudian, aku baru punya
waktu untuk membayar janji. Lagi-lagi cuaca tidak bersahabat, sementara Yusran
tidak dapat kuhubungi, bahkan melalui tentangganya. Sms tidak dibalas, telepon
tidak diangkat. Aku putuskan untuk tetap berangkat, aku takut bila ditunda akan
timbul masalah. Lagi pula aku sudah janji akan berkunjung ke rumahnya.
Perjalan ke rumah Yusran sediit terhambat
karena hujan baru saja redah, jalan sangat becek. Saya harus berhenti di
kampong terdekat untuk shalat Jumat, sekalian istirahat. Selesai shalat, aku
bersiap melanjutkan perjalan ketika hp saya berbunyi. “Pak, kami sudah di
Bontang. Bapak posisi dimana? Kita ketemu dimana?” Sms dari salah satu kerabat
Yusran baru masuk. Aku terpaksa kembali ke kota. Aku minta mereka menungguku
saja karena sudah terlanjur mau bertemu. Ternyata, dua hari sebelumnya Yusran
sakit lagi dan telah berobat di dokter umum di kota sekalian bertemu saya,
hanya saja komunikasi tidak berjalan baik.
Setelah bertemu dan mendangar cerita orang
tuanya aku akhirnya membuat rencana. Tapi Yusran tetap saja membisu, sama dengan
pertemuanku sebelumnya, tidak ada sepatah kata yang meluncur dari mulutnya. Dia
nampak lesu, badannya yang kecil, berbeda dengan teman sebaya yang berumur 12
tahun. Dia hanya menekuk kedua kakinya ketika kusapa. Tidak ada senyum yang
kuperoleh, tidak ada semangat yang kutangkap dari tatap matanya yang kosong.
Sesekali aku mencuri pandang, namun dia tetap menunduk, tak ada suara. Aku sempat memperhatikan kakinya yang masih
sakit, seperti koreng. “Bagaimana sakit gatal-gatal di kakinya Yusran?” Aku
memecah keheningan. Beberapa orang tua di rumah itu juga hanya diam, termasuk orang
tua Yusran. Mereka sebenarnya ingin mendengar aku lebih banyak bicara, namun
saya juga berharap mereka bisa cerita banyak kepada saya tentang kondisi Yusran
yang selalu membisu, seribu bahasa.
Melihat kondisi itu, salah satu kerabatnya
mencoba bicara kepada Yusran, tapi tetap saja diam. Hu! Repot juga nih. Aku
berguman dalam hati. Akhirnya aku coba tanya ke orangtuanya langsung. Penjelasan
mereka sama dengan penjelasan yang pernah kuperoleh. Yusran selalu sakit, hanya
dua tiga hari sekolah, sakit lagi. Apalagi kalau sudah hujan, jalan becek
sehingga ia tidak mampu mengayuh sepedanya. Menurut ibunya, dia tidak sekuat
anak laki-laki lain, cepat capek. “Kalau pulang sekolah saya paling kasian Pak.
Dia sering ditinggal temannya, dia takut melewati hutan sendirian.” Papar
ibunya. “Kadang-kadang menangis sampai di rumah.” Bapaknya juga angkat bicara.
Kali ini suasana sudah mulai cair, namun tetap saja dia membisu, diam dan hanya
menggerak-gerakan topi ditangannya. Rupanya dia dan orang tuanya bersiap untuk
pulang. Mereka datang naik perahu ketinting, sebutan untuk perahu cess di
kampong dia.
Ketinting adalah sarana angkutan trasnportasi
masyarakat di kampong Yusran. Baru saja bapaknya dan puluhan masyarakat lain
mendapat bantuan mesin dari program pemerintah setempat. Tapi hanya sampai
dipelabuhan, selanjutnya bila mau ke rumah sakit harus menggunakan angkutan
kota.
Pertemuan ini membuatku sedikit memahami
kondisi penyakit Yusran. Aku tahu apa yang selanjutnya harus kulakukan. “Begini
saja, bulan depan kita bawa Yusran periksa darah dulu untuk mengetahui penyebab
sakit kepalanya.” Rencanaku, sambil melakukan komunikasi dengan kader kesehatan di
kampong ibu untuk menghubungi pihak puskesmas setempat, aku juga berniat untuk
mencari informasi lain, terutama langkah apa yang harus dilakuakn untuk
mengetahui penyebab sakit kepalanya. “Buka apa-apa, kalau sudah sakit kepala
dia hanya duduk sambil menangis. Bila ditanya, dia tidak menjawab.” Salah satu
kerabatnya menambahkan informasi kepada saya.
Akhirnya, waktu yang disepakati tiba juga.
Aku sempat ragu apa yang kulakukan, tapi karena banyak yang meminta saya
membantu, terpaksa masalah ini tidak saya serahkan ke kader kesehatan. Aku
tangani sendiri. Jam delapan pagi aku meluncur ke kampong Yusran. Namun,
sebelum sampah ke kampong Yusran, entah mengapa aku tiba-tiba ingin bertemu
dengan wali kelasnya. Aku agak khawatir karena sering tidak masuk sekolah dia
tidak akan naik ke kelas delapan. Sayangnya, aku tidak bertemu dengannya. Bahkan
Yusranpun tidak masuk sekolah hari itu karena sakit. Tapi saya ditemui oleh
guru kimia dan guru konseling. Dari mereka aku mendapat cerita tentang bagaimana
dia di sekolah. “Sebenarnya dipelajara kimia dia cukup pintar, bahkan bisa
mengejar ketertinggalan pelajaran.” Lain halnya informasi yang kuperoleh dari
guru lainnya bahwa apabila 16 kali tidak masuk tanpa pemberitahuan makan Yusran
tidak dapat naik kelas. Pada semester lalui, satu hari sebelum ujian berakhir,
dia tidak masuk, sakit lagi. Bahkan sampai penerimaan raport dia tidak datang
untk mengiktui ujian susulan satu bidang studi. “Dia baru saja ambil rapor Pak,
setelah libur selesai.” Pangkas salah seorang guru yang menyertai diskusi kami.
Diluar ruang guru aku melihat teman-teman
Yusran sedang tidak belajar. Menurut guru mereka baru saja ada sosialiasasi
dari bank BPD. Ini kesempatan untuk mencari tahu informasi tentang dia dari
teman-temannya. Untungnya teman-temannya sangat ramah dan heboh. Mereka banyak
bercerita tentang Yusran. Menurut mereka Yusran memang pendiam, kalau istirahat
tidak ikut main seperti anak laki-laki lain. Dia biasanya hanya duduk. Hal yang
sama bila pelajaran olahraga, guru meminta dia duduk saja. Tapi di sekolah dia
dipanggil dengan nama lengkap, Yusrandani. “Dia anaknya jarang bicara, Om.”
Entah siapa namanya berteriak dari belakang. Saat itu aku dikerumuni semua
teman sekelasnya yang kebanyakan perempuan. “Kalau ke sekaloh sering diantar
sama temannya, soalnya jalan kaki.” Seorang teman dia yang lain menyahut dari
belakang. “Bukannya dia naik sepeda dari rumah?” Aku penasaran karena menurut
ibunya Yusran naik sepeda ke sekolah dan saya juga pernah bertemu di jembatan,
dia naik sepeda. “Kita dilarang pakai sepeda ke sekolah, Om.” Jelas teman
lainnya dari sisi depan. Mereka menjelaskan kalau Yusran menyimpan sepeda di
kampong tentangga, jarak dari sekolah kira-kira 3-4 km. “Jadi selama ini dia
harus jalan kaki separuh jalan ke sekolah ya? Aku melanjutkan bertanya. “
Sebenarnya, Om ada Bis jemputan, tapi hanya sampai jalan aspal, terus Doni sering
terlambat, jadi jalan kaki deh.” Sambar temannya yang lain. Yusran di sekolah
juga sering dipanggil Doni, mungkin ada anak lain yang memiliki nama yang sama,
sehingga selalu dikatakan Yusran Doni ya? Padahal nama yang kubaca di kartu
jamkesmasnya adalah Yusrandani. Hal ini kuketahui ketika aku mencari dia di
kelasnya.
Mereka juga mengenal Yusran sebagai anak yang
baik, dan sebenarnya murah senyum. Mereka berharap, Yusran cepat sembuh dan
masuk sekolah lagi. Teman-temannya sangat ramah, membuat saya betah ngobrol
dengan mereka, namun saya harus kerumah Yusran untuk mengetahui kondisinya. Tidak
perlu waktu lama untuk sampai kerumahnya. Ketika aku sampai, kumendapatinya
sedang bermain dengan adiknya yang baru saja pulang sekolah. Sementara dia
sendiri hari itu “alpa”, tidak masuk sekolah karena sakit lagi. Menurut ibunya,
dalam mimggu itu, hanya satu hari masuk sekolah. “Dia sakit lagi, Pak. Jadi
tidak sekolah lagi.” Aku tidak bertemu bapaknya yang sdeang mangambil banmu di
kampong tetangga. “Halo, apa kabar? Kamu sakit ya Dik? Tadi saya mapir di
sekolah kamu dan bertemu dengan teman sekelas kamu, mereka titip salam.” Dia
hanya tersenyum dan kemudian tunduk. Tak lama, dia sudah menghilang dari
pandanganku, rupanya dia masuk ke kamar. Dia tinggal dengan kedua orang tuanya
di RT. 14 Salantuko Kelurahan Bontang Lestari. Di atas pintu aku melihat papan
nama yang bertuliskan KK miskin dan nama kepala keluarga dibawahnya. Memang
semua kepala keluarga di kampong itu masuk dalam data KK miskin. Rumahnya
seukuran lapangan volley dengan satu kamar. Beberapa foto dan kalender caleg
masih terpasang dididing kayu rumah itu. Tidak ada perabotan disana.
Tak lama kemudian, dia keluar lagi karena
diminta oleh ibunya. Aku mencoba merayunya agar mau bicara. Aku mengeluarkan
beberapa buah permen persahabatan tapi dia biarkan saja. Hari itu, kami sepakat
untuk membawa ke rumah sakit, namun harus meminta surat rujukan dari puskesmas.
Akupun mencoba menelpon kepala puskesmas setempat untuk memastikan ada dokter
disana. “Bapaknya belum tahu kalau mau dibawa ke kota, berobat.” Ibunya mencoba
mengingatkan saya. “Baik Bu, saya akan telepon bapak dan minta ijin. Setelah
nomornya kusimpan di telepon gemgamku, aku langsung menghubunginya. Tak sulit
mendapat ijin karena sebelumnya sudah dibicarakan dan dia juga yang mengusulkan
agar anaknya di bawah berobat. “Silahkan saja, Pak. Saya ditempat kerjaan.”
Jawabnya singkat ketika kuhubungi. Tak
lama kemudian, Bu Nasba muncul dan sudah siap berangkat, namun ibunya tidak
ikut karena harus menjaga anak Bu Nasba. Menurutnya, selama ini Bu Nasba yang selalu
mengantar berobat dan Yusran lebih menurut. “Kalau sama saya, dia sering
menangis kalau ditanya macam-macam.” Kata ibunya ketika kutanya mengapa bukan
dia yang menemani anaknya.
Kami menggunakan dua sepeda motor, aku
meminta agar dia bersamaku agar lebih nyaman dan mau bicara padaku. Sedangkan
Bu Nasba membawa motor sendiri supaya nanti tidak perlu saya antar pulang lagi.
Dalam perjalanan, aku sesekali melempar pertanyaan, namun untuk kesekian
kalinya harus kecewa karena tak ada jawaban yang kuperoleh. Tiga puluh menit
kemudian, kami sampai di puskesmas dan langsung ke loket pendaftaran. Tidak
perlu antri karena sudah siang dan pengujung lebih banyak di pagi hari. Setelah
mendaftar kami langsung ke ruang periksa dokter dan mendapat beberapa penjelasan.
Aku meminta surat rujukan untuk periksa darah untuk mengetahui penyebab sakit kepalanya. “oh, tidak perlu, Pak.
Disini sudah ada. Puskesmas ini lengkap, bahkan ada rawat inap karena sudah 24
jam.” Sang dokter mudah itu menjelaskan. “Baiklah kalau begitu, terima kasih.” Kamipun
menuju ruang lain untuk mengambil sampel darah Yusran. Tak membuthkan waktu lama,
namun kami harus menunggu sekitar 30 menit untuk mengetahui hasilnya. “Silahkan
Bapak menunggu dulu di luar dan hasilnya nanti bisa dibawa ke dokter untuk
konsultasi.” Demikian petugas laboratorium puskesmas itu memberi arahan. Tidak perlu diminta dua kali, aku langsung
mangajak Yusran ke ruang tungga dengan kursi yang berjejer. Kondisi puskesmas
yang cukup bersih dan petugas yang ramah membuat kami cukup nyaman dan santai. Kesempatan
itu aku gunakan untuk mulai menjajaki keberuntungan bicara dengannya. “Ayo,
kita duduk disini saja. Kita harus menunggu hasi pemeriksaan darah. Kalau
hasilnya sudah ada, dokter akan memberikan kita penjelasan mengapa Yusran
selalu panas dan sakit kepala, bahkan cepat capek, lesuh dan raut wajah yang
selalu nampak murung.” Akucoba memberikan penjelasan agar dia juga memiliki
pengetahuan. Aku mengajak dia duduk disampingku, cukup dekat untuk bisa
mengambil hatinya, namun aku tetap berusaha membuatnya nyaman. Sementara Bu Nasba,
kerabatnya yang menemaniku duduk agak jauh untuk memberikan kami kesempatan
bicara, dari hati ke hati.
“Kalau besar, kamu mau jadi apa?” Aku membuka
percakapan, mencoba keberuntungan. Aku berharap hari ini dia mau bicara atau
paling tidak mejawab pertanyaanku. Aku menunggunya, aku tidak terburu-buru
untuk menanyakan pertanyaan lainnya. Aku
sudah tahu dia tak akan bicara. Masih belum ada jawaban, dia masih tertunduk.
Aku memutar otak, aku coba mengganti topik pembicaraan. Aku memperlihatkan
poster yang menempel di dinding. Saya minta dia melihat dan membaca poster itu.
Aku lihat dia mengangkat wajahnya dan melihat kearah poster yang kutunjuk. Aku
tahu dia menyimak dan mendengar, hanya saja tidak mau bicara. “Kamu suka
pelajaran apa?” Tanyaku kembali, aku tidak mau menyerah sampai dia mengeluarkan
suaranya. “IPA.” Jawabnya singkat dan hampir tak terdengar. Yes, akhirnya dia
bicara juga, meskipun hanya singkat. “ O, IPA ya. “Memangnya cita-cita kamu mau
jadi apa?” Aku mulai percaya dia hanya malu-malu. “Guru.” Yes, dia sudah langsung
menjawab pertanyaanku, tanpa harus menunggu lama. “Kamu suka olahraga apa?”
Kini aku bersemangat, ini kesempatan batinku. “Bulu tangkis.” Jawabnya singkat,
namun kali ini suara sudah lebih jelas. “Memangnya kalau main, pake apa?” Aku
menanyakan ini karena tidak ada raket yang terlihat saat berkunjung ke rumahnya.
“Pake kayu.” Apa, kayu. Mm, aku berguman. Aku mendapat ide untuk membuat dia
mau bicara banyak. Dia suka main bulu tangkis, pake kayu. Pasti dia akan senang
kalau aku belikan sepasang raket. Aku sangat ingin melihatnya tersenyum, ceria
seperti anak lain. Bila pulang sekolah, dia hanya bermain dengan adiknya di
rumah. Sekarang dia punya sepeda, sesekali main sepeda.
“Yusrandani.” Terdengar panggilan dari dalam
laboratorium, tempat darah Yusran diperiksa. Aku beranjak dan bergegas mengambil
secarik kertas yang berisi hasil pemeriksanaan darahnya. Selanjutnya, kami menemui
dokter untuk mendapat penjelasan.
“Begini, Pak. Anak ini ada gejala anemia
dan radang. Makanya dia kelihatan lesu.
Coba bapak lihat bagian matanya putih tapi tepinya merah, itu salah satu
tandanya dia kurang darah. “ Sang dokter mulai memberikan penjelasan. Dia
menyebutkan beberapa istilah medis yang saya tidak hafal tapi saya faham
maksudnya. Intinya, Yusran kurang makan sayur, sehingga disarankan menkonsumsi
sayur yang banyak mengandung zat besi seperti kangkung dan bayam. Selama ini
dia hanya suka makan indomie, pantas saja dia juga kena penyakt kulit. Dia
alergi dengan makan sejenis itu. Sang dokter kemudian menuliskan resep obat
untuk diambil di apotek. “Ini obatnya, kalau masih sakit dalam tiga hari ini
silahkan datang kembali.” Akupun pamit setelah merasa cukup mendapat penjelasan
dan berharap ada perubahan.
Diluar ruangan aku bertemu dengan kepala
puskesmas dan kujelaskan tentang kasus Yusran. Dia menyarankan, bila
orangtuanya kesulitan membawa ke puskesmas agar bisa membawa periksa saat
pusling. Pusling adalah singkatan dari puskesmas keliling. Ini merupakan
program penjangkauan kepada masyarakat di lokasi yang yang jauh atau
terisiolasi. “Sekarang pusling sudah dua kali sebulan, Pak. Jadi masyarakat
tidak perlu jauh-jauh bila akan memeriksakan kesehatannya.” Bahkan sekarang,
ada bantuan alat dari program PNPM Peduli kepada kader kesehatan sehingga
petugas kesehatan tidak perlu membawa alat bila melayani masyarakat di kampong.
“Alat disana sudah ada, jadi kami hanya membawa obat saja.” Terang kepala
puskesmas tersebut. Saya juga mengutarakan
pentingnya peran kader kesehatan untuk memantau dan mengajak masyarakat ke
pusling. Bukan hanya mangajak untuk berobat tapi juga untuk berperilaku hidup
sehat dan bersih atau PHBS.
“Kami harus pamit dulu, Pak.” Aku harus
mengakhiri diskusi dengan kepala puskesmas tersebut karena takut Yusran kelaparan.
Maklum, waktu makan siang sudah lewat.
Keluar dari puskesmas aku mencari warung
makan, namun kami hanya menemukan warung yang menjual gado-gado. Sambil
menunggu makanan disajikan, aku kembali menyerang Yusran dengan pertanyaan.
“Yusran suka makan apa?” Aku tahu, dia sudah mau bicara denganku. Benar saja,
dia langsung menjawab. Dia ternyata suka makan nasi goreng, bahkan dia sering
membuat sendiri di rumah.
Sebenarnya, bukan hanya Yusran yang memiliki kasus
sakit kepala. Aku mendapat informasi dari guru Yuran, ada anak dari kampong
tentangga yang juga sering mengeluh sakit kepala. Kalau tidak salah namanya
Asril. Informasi tersebut dibenarkan Bu Nasbah. “Anak itu bahkan pernah pingsan
saat di laut.” Ya, aku bertemu dengannya siang itu, ketika aku akan menjemput
Yusran. Dia mengenakan celana panjang berwarna biru. Aku bahkan sempat
berbincang dengannnya.”U’deko massikola ne?” Aku menyapanya seperti seorang
guru dan dia mau saja menjawab. Kebetulan aku bisa bahasa Mamuju, bahasa yang
mereka gunakan sehari-hari. Aku bertanya, kamu tidak sekolah ya? “U’de. Soro’do
yaku massikola.” Dia tidak seperti Yusran yang diam seribu bahasa. Temannya ini
lebih komunikatif. Dia mengatakan bahwa dia sudah berhenti sekolah. “Kenapa
kamu berhenti sekolah?” Saya tertarik mengetahui alasannya. Dia menjelaskan
bahwa dia dinyatakan kangker oleh petugas puskesmas. Tentu jawaban yang aneh bagi saya sehingga
saya tidak percaya begitu saja. Bisa jadi, kasus penyakitnya sama dengan Yusran,
gejala anemia sehingga sering pingsan dan cepat lelah. Kalau dugaanku ini benar, maka menjadi
indicator bahwa Yusran dan puluhan anak lainnya di kampung itu perlu mendapat
perhatian khusus.
Kepala puskesmas setempat yang aku sempat
ajak diskusi kasus ini sepakat dan untuk itu pula pelayanan pusling di kampong
tersebut ditingkatkan menjadi dua kali sebulan. Saya juga telah mengkomunikasikan
hal ini kepada Dinas Kesehatan dan siap bersinergi dengan program PNPM Peduli
untuk melakukan edukasi PHBS. Bisa jadi, apa yang dialami Yusran yang
didiagnosa mengalami gejala anemia dan gatal-gatal ini karena kurangnya
pemahaman PHBS.
Berselang lima hari kemudian aku mendapat
kabar kalau Yusran masih sakit kepala pada malam. Bahkan, menjelang sore sampai
malam hari demam tinggi. Dia juga mengaku pusing. Aku putuskan untuk kembali
membawanya ke puskesmas. Cuaca yang tidak bersahabat menyulitkan rencanaku.
Beberapa hari ini selalu hujan, jalan menuju kampungnya tidak dapat dilalui
kendaraan. Aku berfikir untuk lewat laut, namun gelombang dan angin kencang
juga menjadi penghalang. Mungkin jalan keluarnya harus jalan kaki. Aku tak
ingin masalah ini tertunda, aku ingin penanganan segera. Akhirnya tekad sudah
bulat, Bu Nasba, tetangga Yusran akan membantu mengantar sampai jalan aspal.
Ketika aku telepon bapaknya, Yusran tidak masuk sekolah lagi, katanya akan ke
dokter pagi itu. Aku pastikan lagi agar Yusran sudah ijin ke sekolah agar alpa
tidak bertambah.
Sesuai jadual, Yusran sudah tiba di puskesmas
sekitar pukul Sembilan pagi. Loket pendaftaran adalah tujuan pertama baru masuk
ke ruang dokter. Sayangnya dokter jaganya berbeda, jadi harus menjelaskan ulang
lagi kasusnya. Aku protes ketika akan diberi obat lagi dan minta kembali bila
masih sakit. “Bu dokter, kami capek
kalau harus bolak-balik. Lagipula, anak ini harus sekolah.” Setiap periksa
selalu diberi obat yang sama, penjeasan yang tidak memuaskan karena dokternya
ganti. Nampak dokter itu berfikir dan keluar ruangan. Tak lama dia kembali.
“Saya rujuk ke poly anak saja ya, Pak.” Akhirnya, dia merujuk juga kasus ini ke
rumah sakit. Disana ada dokter spesialis anak dan spesialis lainnya. Sebenarnya
ini yang aku minta sebelumnya, namun dokter puskesmas sepertinya masih mau
observasi.
“Bu, besok perjalanan kita cukup jauh dan
pemeriksaan di rumah sakit butuh waktu satu hari penuh. Saya berharap bisa jam
7 pagi sudah berangkat dari rumah.” Aku coba buat rencana bersama Bu Nasba.
“Jadi, Yusran besok ijin lagi ya, Pak.” Minggu lalu, Yusran hanya masuk sekolah
dua hari. Minggu ini, senin dan selasa sudah digunakan untuk berobat. Aku
sebenarnya kasian juga sama dia, ketinggalan pelajaran. Tapi harus bagaimana lagi, kami sudah bertekad
minimal sampai ditangai dokter spesialis. Harapannya aku dan orang tuanya tahu
penyebab sakit kepala dan demamnya. Tapi yang paling penting, tahu apa yang
harus dilakaukan selanjutnya agar Yusran bisa tersenyum, bisa sekolah seperti
anak lainnya.
Meskipun obat dokter puskesmas belum
menyembuhkan sakit kepala dan deman
Yusran, tapi permen persahabatan cukup mujarab untuk membuatnya bicara padaku. Aku
lihat dia sudah tidak canggung, begitu datang langsung duduk di dekatku. Ketika
kutanya tidak perlu menunggu lama untuk mendapat jawaban, meskipun dengan suara
yang masih lirih. Hampir tak terdengar.
Besok kami akan bersama satu hari penuh di
rumah sakit, aku berharap dokter bisa memberi dia “permen” yang mujarab,
seperti permen yang kuberikan pada Yursan. Ayo Yusran, jangan menyerah, gapai
cita-citamu untuk jadi Guru IPA.
Kontak Person: Saparuddin (Senny),
KBCF,08125516062
Tinggal di Bontang, Kalimantan Timur.