Jumat, 07 September 2012

Mengembalikan Ikan yang Hilang

Program PNPM Peduli tidak hanya membuka akses komunitas marginal, tapi juga menemukan sejumlah asset mereka yang “hilang”.  Cerita ini kuperoleh saat  berkunjung ke Desa Tambak Bajai, Kalimantan Tengah.

Dari tempatku tinggal, desa ini akan lebih cepat dicapai lewat Banjarmasin dibandingkan Palangkaraya, ibukota propinsi tersebut. Setelah menghabiskan waktu sekitar duabelas  jam, perkampungan tua yang terletak di Kecamatan Dadahub itu berhasil aku capai. Bila dihitung-hitung, ini adalah kunjunganku yang ketiga. Beberapa jalur telah aku coba, sungai Mangkatib yang melintas di desa itu telah kuarungi dengan perahu cess, sebutan untuk perahu kecil di kampung yang dihuni  komunitas masyarakat Dayak Ngaju itu. Perkebunan sawit yang mengepung desa tua itu telah kujelajahi dua kali, sampai mengaruhi kanal-kanal yang berjejer rapi di sepanjang sungai.

Sepanjang jalan, hamparan hutan berganti dengan sawit, tidak ada pohon yang berdiri tegak, menjulang dan menembus awan. Tidak ada burung yang bernyanyi dan monyet yang  menyapa, apalagi orangutan dan banyak lagi satwa penghuni belantara hutan Kalimantan. Ketika menyusuri sungaipun demikian.  Hanya nampak pohon karet yang sudah tua dan beberapa ekor monyet hidung panjang yang mengintip dari balik pepohona yang digantungi rotan.

Nama Desa Tambak Bajai berasal bahasa setempat yang berarti tempat buaya. Desa ini dikenal sebagai perkampungan tua dan menyimpan  cerita dan peristiwa, termasuk cerita tentang Proyek Lahan Gambut (PLG). Proyek orde baru ini telah merampas kemakmuran dan kedamaian masyarakat desa yang hanya berpenghuni tidak lebih  seratus kepala keluarga tersebut.

Kondisi ini mungkin hanya sebagian kecil saja dari banyak peristiwa yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.  Kekhawatiran dampak “virus mematikan” globalisasi dan modernisasi kini terbukti. Pengaruhnya begitu besar menerobos sampai pedalaman Kalimantan. Kita hampir tidak menyadari, sampai semuanya hilang, pergi dan hanya bisa menjadi cerita bagi anak cucu. Komunitas masyarakat Adat Ngaju yang berada di ujung kabupaten Kapuas ini, dulunya sangat makmur, dikenal sebagai perkampung tua.  Wilayah ini memiliki banyak kearifan lokal untuk melstarikan hutan dan sumberdaya di dalamnya, tempat mereka mengambil rotan dan menorah karet untuk makan dan memenuhi kebuthan hidup sehari-hari lainnya. Mereka hanya mengambil sesuai kebutuhan, mengambil dua batang kayu untuk membangun dan perbaikan rumah, beberapa lembar rotan untuk membuat tas, beberapa tetes karet untuk dijual dan membeli pakaian.

Kini, semua itu tinggal cerita. Hutan yang rimbun telah menjadi hamparan kebun sawit yang tiada batas, perempaun harus memancing ikan kecil di tepi sungai untuk santapan siang keluarga, kebun rotan dan karet sudah terkikis, hampir habis.

Menurut Yarno Abet Nion, salah satu tetua adat, sebelum PLG dan sawit masuk ke desa mereka, ikan di sungai melimpah. Mereka bertahan hidup setahun dari penghasilan menangkap ikan saja. Sekarang jangankan setahun, hanya untuk makan sehari saja mereka haru membeli  15 ribu per kg. Bahkan, untuk mendapatkan ikan sebesar kelingkingpun, ibu-ibu harus berdiri sepanjang pagi untuk memancing. Lebih menyedihkan lagi, sebagian penduduk kini harus membeli ikan asin yang dijual di pasar, seminggu sekali.

Saat aku disana, kulihat seorang ibu berdiri ditepi sungai sambil memegang pancing. Aku coba mendekat pelan-pelan agar tidak mengganggu. Kulihat disampingnya ada ember hitam yang berisi ikan kecil-kecil, sebesar jari telunjuk saya. “Maaf bu, sedang mancing ya?” Aku membuka pembicaraan basa-basi untuk kenalan. Diapun tidak menjawab, mungkin karena malu-malu atau tidak ingin membuat suara agar ikan tidak kabur. Dia hanya mengangguk dan melempar senyum. Aku mengerti isyarat itu. “Ikannya untuk pakan ikan ya,  Bu?” Setelah beberapa saat, aku coba membuka pembicaraan kembali. “Oh tidak, ini untuk makan siang,” jawabnya datar.  Aku tersentak! Aku membayangkan ikan sekecil itu akan menjadi santapan siang keluarga. Di tempatku, ikan sekecil dibuang atau paling tidak hanya menjadi pakan ternak. Ibu yang belakangan kuketahui bernama Bu Santi. Saat bertemu mengenakan daster merah mengaku terpaksa memancing ikan di sungai karena harga ikan sudah tidak terjangkau.

Kesulitan masyarakat mendapatkan ikan bukan hanya dikeluhkan oleh Santi. Pak Yarno, tempat aku menginap juga mengalami hal yang sama. Menurutnya, masyarakat terpaksa makan ikan kecil-kecil karena yang besar sudah tidak ada. “Kami tidak tahu, kemana ikan di desa ini,” kata Yarno, panggilan tetua adat ini. Sebelum proyek PLG dan serangan kebun sawit di desa mereka, ikan bukan masalah. Bahkan mereka menjual sampai keluar desa dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat. Yarno dan puluhan masyarakat desa tersebut memiliki teknik menangkap ikan yang unik, beje’ namanya.

Cara membuat beje’ sangat sederhana. Masyarakat menggali lubang seperti sumur atau kolam di kebun karet mereka. Cara kerja metode ini juga cukup mudah, ketika banjir datang atau air sungai meluap sampai menggenangi kebun karet, ikan dari sungai akan naik. Ketika air mulai surut, ikan tersebut akan tinggal pada sumur dan kolam jebakan itu. Sayangnya, saat disana Pak Yarno tidak sempat melihat beje’. Tapi, cerita Pak Yarno sempat mengajak saya ke rumah salah seorang warga yang baru saja panen beje. Aku masih penasaran, seperti apa ikan hasil tangkapaan beje yang diceritakannya. Ketika sampai, kulihat ikan sudah dipisahkan dalam 3 baskom berbeda. “Bu, kenapa ikan-ikan dipisahkan pada tempat berbeda?”  Aku lihat, ikan yang berbeda ukuran itu dipisahkan, tapi ukurannya juga paling besar hanya seperti tiga jari orang dewasa. “Harganya berbeda, Pak.” Menurutnya, ikan itu harganya bervariasi. Mulai dari sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah per kg, tergantung ukuran.

Seorang ibu rumah tangga di desa itu juga sempat berceloteh tentang  kesulitan memperoleh ikan. Mereka harus membeli ikan dari luar desa, sesekali diganti dengan telur ayam. Karena harga ikan sudah mahal, mereka lebih sering mengkonsumsi ikan kering.

Ica, petugas puskesmas pembantu desa itu mengaku, kalau hampir setiap hari masyarakat mengkonsumsi ikan asing. “Keluhan pasien yang saya tangani paling banyak menderita darah tinggi.” Perempuan yang tinggal terpisah dengan keluarganya ini juga menjelaskan kalau sebagian besar pasien yang darah tinggi adalah orang tua.

Sungguh ironi, di sungai yang begitu besar, tapi tidak ada lagi ikan untuk dimakan. Hanya tersisa ikan sebesar kelingking, hanya cukup untuk makan siang. Bahkan menurut Pak Yarno, ada jenis ikan yang tidak pernah masyarakat temui dalam beberapa tahun ini.

Hilangnya ikan di Sungai Mangkatib Desa Tambak Bajai ditenggarai  Pak Yarno karena adanya aktifitas perkebunan sawit. Mereka menganggap, penggunaan pestisida yang besar oleh perusahaan perkebunan sawit menyebabkan pencemaran air sungai dan mengakibatkan ikan mati.

Tapi, sejauh ini, mereka juga tidak pernah menemukan ikan yang mati di sungai. Aku sempat diskusi dengan Pak Yarno  tentang kemungkinan penyebab lainnya. Menurutunya ada kemungkinan penyebab lainnya, yaitu proses penyiapan lahan PLG membuat kanal yang cukup banyak dan besar. Kondisi tersebut menyebabkan ikan yang awanya terkumpul di sungai, sekarang tersebar di banyak kanal. Kemungkinan penyebab lainnya adalah over fishing atau penangkapan berlebihan. Kalau melihat metode penangkapan ikan oleh masyarakat selama belasan tahun menyebabkan berkurangnya ikan di sungai. Bayangkan saja, berton-ton ikan akan terjebak pada beje’ dan telah dilakukan sejak lama. Ikan yang kecil dan besar semuanya diambil. Akibatnya, jumlah ikan dari tahun ketahun berkurang. Bahkan, bila cara menangkap ikan dengan beje ini terus dilakukan kemungkinan hilangnya ikan di desa itu semakin besar. Tapi, ketiga hipotesa ini harus dilakukan penelitian mendalam untuk memastikan penyebabnya.

Kesulitan memperoleh ikan di desa tersebut menjadi latar belakang program PNPM Peduli. Melalui program itu, masyarakat membentuk dua kelompok untuk mengelolah usaha budidaya ikan sistem keramba. Harapannya mereka sederhana, selain untuk kegiatan ekonomi juga menyediakan ikan di kampong mereka. Memang belum panen, tapi harapan telah digantungkan. Tantangan datang satu persatu, mulai dari pakan sampai keaktifan pengurus. Namun, layar telah dikembangkan, kapal harus berlayar, usaha ini akan menjadi pintu masuk program lainnya untuk mengembalikan ikan yang hilang di Tambak Bajai. Saat ini, dinas perikanan setempat sudah berkunjung dan menebar janji. Mereka akan membantu kelompok agar usaha budidaya ikan tersebut berjalan sesuai harapan.  Bkan itu saja, Pak Yarno dan beberapa anggota kelompok akan membuat demplot kolam ikan di belakang rumah. “ Saya sudah siapkan lokasi untuk budidaya ikan, sekaligus akan mengambil bibit dari sungai supaya ikan itu tidak punah.” Aku sungguh berharap rencana dia berhasil agar ikan yang tersisa dapat dilestarikan. “Saya juga akan buat daftar ikan yang pernah ada di desa, Pak.”  Sungguh satu cita-cita yang besar, bravo Pak Yarno! (sevit)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar