Program PNPM Peduli tidak
hanya membuka akses komunitas marginal, tapi juga menemukan sejumlah asset mereka
yang “hilang”. Cerita ini kuperoleh saat berkunjung ke Desa Tambak Bajai, Kalimantan Tengah.
Dari tempatku tinggal,
desa ini akan lebih cepat dicapai lewat Banjarmasin dibandingkan Palangkaraya,
ibukota propinsi tersebut. Setelah menghabiskan waktu sekitar duabelas jam, perkampungan tua yang terletak di
Kecamatan Dadahub itu berhasil aku capai. Bila dihitung-hitung, ini adalah
kunjunganku yang ketiga. Beberapa jalur telah aku coba, sungai Mangkatib yang
melintas di desa itu telah kuarungi dengan perahu cess, sebutan untuk perahu
kecil di kampung yang dihuni komunitas
masyarakat Dayak Ngaju itu. Perkebunan sawit yang mengepung desa tua itu telah
kujelajahi dua kali, sampai mengaruhi kanal-kanal yang berjejer rapi di
sepanjang sungai.
Sepanjang jalan,
hamparan hutan berganti dengan sawit, tidak ada pohon yang berdiri tegak,
menjulang dan menembus awan. Tidak ada burung yang bernyanyi dan monyet
yang menyapa, apalagi orangutan dan
banyak lagi satwa penghuni belantara hutan Kalimantan. Ketika menyusuri
sungaipun demikian. Hanya nampak pohon
karet yang sudah tua dan beberapa ekor monyet hidung panjang yang mengintip
dari balik pepohona yang digantungi rotan.
Nama Desa Tambak Bajai
berasal bahasa setempat yang berarti tempat buaya. Desa ini dikenal sebagai
perkampungan tua dan menyimpan cerita
dan peristiwa, termasuk cerita tentang Proyek Lahan Gambut (PLG). Proyek orde
baru ini telah merampas kemakmuran dan kedamaian masyarakat desa yang hanya
berpenghuni tidak lebih seratus kepala
keluarga tersebut.
Kondisi ini mungkin
hanya sebagian kecil saja dari banyak peristiwa yang terjadi dalam sepuluh
tahun terakhir. Kekhawatiran dampak “virus
mematikan” globalisasi dan modernisasi kini terbukti. Pengaruhnya begitu besar menerobos
sampai pedalaman Kalimantan. Kita hampir tidak menyadari, sampai semuanya hilang,
pergi dan hanya bisa menjadi cerita bagi anak cucu. Komunitas masyarakat Adat
Ngaju yang berada di ujung kabupaten Kapuas ini, dulunya sangat makmur, dikenal
sebagai perkampung tua. Wilayah ini
memiliki banyak kearifan lokal untuk melstarikan hutan dan sumberdaya di dalamnya,
tempat mereka mengambil rotan dan menorah karet untuk makan dan memenuhi
kebuthan hidup sehari-hari lainnya. Mereka hanya mengambil sesuai kebutuhan,
mengambil dua batang kayu untuk membangun dan perbaikan rumah, beberapa lembar
rotan untuk membuat tas, beberapa tetes karet untuk dijual dan membeli pakaian.
Kini, semua itu
tinggal cerita. Hutan yang rimbun telah menjadi hamparan kebun sawit yang tiada
batas, perempaun harus memancing ikan kecil di tepi sungai untuk santapan siang
keluarga, kebun rotan dan karet sudah terkikis, hampir habis.
Menurut Yarno Abet
Nion, salah satu tetua adat, sebelum PLG dan sawit masuk ke desa mereka, ikan
di sungai melimpah. Mereka bertahan hidup setahun dari penghasilan menangkap
ikan saja. Sekarang jangankan setahun, hanya untuk makan sehari saja mereka
haru membeli 15 ribu per kg. Bahkan,
untuk mendapatkan ikan sebesar kelingkingpun, ibu-ibu harus berdiri sepanjang
pagi untuk memancing. Lebih menyedihkan lagi, sebagian penduduk kini harus membeli
ikan asin yang dijual di pasar, seminggu sekali.
Saat aku disana,
kulihat seorang ibu berdiri ditepi sungai sambil memegang pancing. Aku coba
mendekat pelan-pelan agar tidak mengganggu. Kulihat disampingnya ada ember
hitam yang berisi ikan kecil-kecil, sebesar jari telunjuk saya. “Maaf bu,
sedang mancing ya?” Aku membuka pembicaraan basa-basi untuk kenalan. Diapun
tidak menjawab, mungkin karena malu-malu atau tidak ingin membuat suara agar
ikan tidak kabur. Dia hanya mengangguk dan melempar senyum. Aku mengerti
isyarat itu. “Ikannya untuk pakan ikan ya, Bu?” Setelah beberapa saat, aku coba membuka
pembicaraan kembali. “Oh tidak, ini untuk makan siang,” jawabnya datar. Aku tersentak! Aku
membayangkan ikan sekecil itu akan menjadi santapan siang keluarga. Di tempatku,
ikan sekecil dibuang atau paling tidak hanya menjadi pakan ternak. Ibu yang
belakangan kuketahui bernama Bu Santi. Saat bertemu mengenakan daster merah
mengaku terpaksa memancing ikan di sungai karena harga ikan sudah tidak
terjangkau.
Kesulitan masyarakat
mendapatkan ikan bukan hanya dikeluhkan oleh Santi. Pak Yarno, tempat aku
menginap juga mengalami hal yang sama. Menurutnya, masyarakat terpaksa makan
ikan kecil-kecil karena yang besar sudah tidak ada. “Kami tidak tahu, kemana
ikan di desa ini,” kata Yarno, panggilan tetua adat ini. Sebelum proyek PLG dan
serangan kebun sawit di desa mereka, ikan bukan masalah. Bahkan mereka menjual
sampai keluar desa dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat. Yarno
dan puluhan masyarakat desa tersebut memiliki teknik menangkap ikan yang unik,
beje’ namanya.
Cara membuat beje’
sangat sederhana. Masyarakat menggali lubang seperti sumur atau kolam di kebun
karet mereka. Cara kerja metode ini juga cukup mudah, ketika banjir datang atau
air sungai meluap sampai menggenangi kebun karet, ikan dari sungai akan naik. Ketika
air mulai surut, ikan tersebut akan tinggal pada sumur dan kolam jebakan itu. Sayangnya,
saat disana Pak Yarno tidak sempat melihat beje’. Tapi, cerita Pak Yarno sempat
mengajak saya ke rumah salah seorang warga yang baru saja panen beje. Aku masih
penasaran, seperti apa ikan hasil tangkapaan beje yang diceritakannya. Ketika
sampai, kulihat ikan sudah dipisahkan dalam 3 baskom berbeda. “Bu, kenapa
ikan-ikan dipisahkan pada tempat berbeda?”
Aku lihat, ikan yang berbeda ukuran itu dipisahkan, tapi ukurannya juga
paling besar hanya seperti tiga jari orang dewasa. “Harganya berbeda, Pak.”
Menurutnya, ikan itu harganya bervariasi. Mulai dari sepuluh ribu sampai tiga puluh
ribu rupiah per kg, tergantung ukuran.
Seorang ibu rumah
tangga di desa itu juga sempat berceloteh tentang kesulitan memperoleh ikan. Mereka harus
membeli ikan dari luar desa, sesekali diganti dengan telur ayam. Karena harga
ikan sudah mahal, mereka lebih sering mengkonsumsi ikan kering.
Ica, petugas puskesmas
pembantu desa itu mengaku, kalau hampir setiap hari masyarakat mengkonsumsi
ikan asing. “Keluhan pasien yang saya tangani paling banyak menderita darah
tinggi.” Perempuan yang tinggal terpisah dengan keluarganya ini juga
menjelaskan kalau sebagian besar pasien yang darah tinggi adalah orang tua.
Sungguh ironi, di
sungai yang begitu besar, tapi tidak ada lagi ikan untuk dimakan. Hanya tersisa
ikan sebesar kelingking, hanya cukup untuk makan siang. Bahkan menurut Pak
Yarno, ada jenis ikan yang tidak pernah masyarakat temui dalam beberapa tahun
ini.
Hilangnya ikan di
Sungai Mangkatib Desa Tambak Bajai ditenggarai
Pak Yarno karena adanya aktifitas perkebunan sawit. Mereka menganggap,
penggunaan pestisida yang besar oleh perusahaan perkebunan sawit menyebabkan
pencemaran air sungai dan mengakibatkan ikan mati.
Tapi, sejauh ini,
mereka juga tidak pernah menemukan ikan yang mati di sungai. Aku sempat diskusi
dengan Pak Yarno tentang kemungkinan
penyebab lainnya. Menurutunya ada kemungkinan penyebab lainnya, yaitu proses
penyiapan lahan PLG membuat kanal yang cukup banyak dan besar. Kondisi tersebut
menyebabkan ikan yang awanya terkumpul di sungai, sekarang tersebar di banyak kanal.
Kemungkinan penyebab lainnya adalah over
fishing atau penangkapan berlebihan. Kalau melihat metode penangkapan ikan
oleh masyarakat selama belasan tahun menyebabkan berkurangnya ikan di sungai. Bayangkan
saja, berton-ton ikan akan terjebak pada beje’ dan telah dilakukan sejak lama.
Ikan yang kecil dan besar semuanya diambil. Akibatnya, jumlah ikan dari tahun
ketahun berkurang. Bahkan, bila cara menangkap ikan dengan beje ini terus
dilakukan kemungkinan hilangnya ikan di desa itu semakin besar. Tapi, ketiga hipotesa
ini harus dilakukan penelitian mendalam untuk memastikan penyebabnya.
Kesulitan memperoleh
ikan di desa tersebut menjadi latar belakang program PNPM Peduli. Melalui program
itu, masyarakat membentuk dua kelompok untuk mengelolah usaha budidaya ikan sistem
keramba. Harapannya mereka sederhana, selain untuk kegiatan ekonomi juga
menyediakan ikan di kampong mereka. Memang belum panen, tapi harapan telah
digantungkan. Tantangan datang satu persatu, mulai dari pakan sampai keaktifan
pengurus. Namun, layar telah dikembangkan, kapal harus berlayar, usaha ini akan
menjadi pintu masuk program lainnya untuk mengembalikan ikan yang hilang di
Tambak Bajai. Saat ini, dinas perikanan setempat sudah berkunjung dan menebar
janji. Mereka akan membantu kelompok agar usaha budidaya ikan tersebut berjalan
sesuai harapan. Bkan itu saja, Pak Yarno
dan beberapa anggota kelompok akan membuat demplot kolam ikan di belakang
rumah. “ Saya sudah siapkan lokasi untuk budidaya ikan, sekaligus akan
mengambil bibit dari sungai supaya ikan itu tidak punah.” Aku sungguh berharap
rencana dia berhasil agar ikan yang tersisa dapat dilestarikan. “Saya juga akan
buat daftar ikan yang pernah ada di desa, Pak.” Sungguh satu cita-cita yang besar, bravo Pak Yarno! (sevit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar