Elly,
namanya. Umurnya 72 tahun, karena sudah berumur aku memanggilnya Bu Elly.
Kukenal dia dari seorang masyarakat yang aku dampingi. Aku salah satu
pendamping masyarakat dalam membudidayakan ikan keramba di Desa Tambak Bajai,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Program
tersebut salah satu kegiatan PNPM Peduli yang kufasilitasi. Program ini
ditujukan kepada kelompok masyarakat adat yang terpencil, tidak terjangkau
program pembangunan dan hampir tidak terlihat oleh “kaca mata” pemerintah.
Aku
mengenalnya tidak kebetulan, tapi untuk pengembangan program pendampinganku di
desa itu. Disana bermukim komunitas Masyarakat Adat Ngaju. Aku ingin membangun
mimpi bersama mereka, seperti di kampong lain, dimana aku telah memulainya
beberapa tahun lalu. Beberapa mimpi telah diraih, beberapa lainnya masih
menggantung di langit. Tidak mudah menggapainya, tapi terasa membanggakan
ketika diraih. Sebenarnya, ada 60 orang yang teribat dalam program ini. Hapakat
dan Bina Usaha nama kedua kelompok
mereka. Sudah tujuh bulan mereka memelihara ikan sungai itu. Setiap hari mereka
bergantian merawat dan memberi pakan. Bahkan mereka patungan membeli pakan di
kota, demi sang ikan, harapan mereka.
Seperti
di kampong dampinganku lainnya, pengembangan program berdasarkan potensi
sumberdaya alam dan keterampilan yang mereka miliki. Di Kalimantan dikenal
memiliki hutan, sebelum diserbu tambang dan perkebunan sawit. Seperti dalam perang Teluk, Amerika melakukan invasi ke
Irak. Mereka di serbu dari segala arah, dikepung, sampai tidak berdaya, menyerahkan
kebun dan hutan mereka untuk ditambang dan disulap menjadi kebun sawit. Mereka
menyerah ditengah ketidakberdayaan. Tidak ada yang mengirimkan bantuan
“kemanusiaan” kepada mereka, meski bertahan sampai titik nadir. Mereka
terbelenggu kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterisolasian.
Kendati
demikian, masih ada sedikit hutan yang tersisa. Mereka masih menyimpan selembar
kebun karet dan rotan untuk bertahan hidup. Meskipun “perseteruan” dengan
perusahaan sawit tidak terelakkan, namun asap dapur harus tetap mengepul,
anak-anak harus mengejar mimpi, orang sakit butuh sentuhan dokter.
Untunglah
dalam hutan dan kebun yang tersisa, masih ada sejengkal rotan. Dulu, rotan
menjadi andalan komunitas masyarakat adat tersebut. Selain dijual, mereka juga
membuat peralatan untuk menunjang kegiatan sehari-hari, seperti; topi, tas,
tikar dan lainnya. Sampai pada satu kesempatan, Kemitraan mengundang mereka
untuk mengikuti pameran di Semarang. Aku fikir, inilah saatnya untuk mendorong
mereka mengembangkan program, bukan hanya budidaya ikan. Kegiatan ini yang
membawa saya lebih dekat dengannya.
Melalui
Bu Rena, salah satu masyarakat dampinganku, aku mencari orang yang bisa
mewakili mereka mengikuti pameran itu. Awalnya dia mengusulkan tantenya
yang dikenal pandai membuat beragam
jenis kerajinan dari rotan. Sayangnya,
dia tidak tinggal di desa dampinganku. Seperti sudah diatur, ini awal
perkenalanku dengan Bu Elly. Dia terpilih karena ternyata hanya dia yang bisa
membuat kerajinan di desa itu. Diapun berangkat ke Semarang. Namun sebelum
berangkat dia harus menyiapkan beberapa contoh hasil kerajinan tangannya dan
membawa beberapa lembar rotan untuk dia praktikkan dalam pameran.
Aku
mendapat kabar, sebelum keberangkatannya bahwa dia sangat senang, bersemangat.
Namun, umunrnya hampir senja menjadi penghalang baginya. Aku takut dia sakit dalam pejalanan yang
cukup panjang, apalagi aku tidak bisa menyertainya. Sebenarnya bukan hanya dia yang
berangkat, namun ada yang dari
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tapi mereka baru akan bergabung dalam
tim Kalimantan di Semarang. Jarak yang
jauh dan jaringan komunikasi yang tidak ada menyulitkan mencari solusi. Bahkan
mencari pengganti akan sulit karena
tidak ada orang lain yang memiliki keterampilan itu. Aku putuskan membuat
beberapa alternative. Pertama, dia berangkat tapi ada yang menemani dari kampung.
Kedua dia digantikan orang lain, tapi di Semarang tidak ada praktik membuat
kerajinan, hanya membawa hasil yang sudah jadi.
Masalah
ini sempat saya “endapkan”, aku pusing. Satu minggu kemudian ketika panitia
menghubungi kembali baru kumulai memikirnnya lagi. Untungnya, ada orang desa
yang ke kota dan berhasil aku hubungi dengan pesan singkat di hand phone ku. Kuminta dia untuk
membicarakan masalah ini di kampong dan memilih alternative yang kubuat.
Dua
hari kemudian, mereka menghubungi kembali dan ternyata memilih alternative
pertama. Ya, ya. Aku berguman dalam hati. Ini artinya aku harus menghubungi
panitia agar bisa menambah satu orang lagi untuk menemani Bu Elly. Kuungkapkan
beberapa alasan yang cukup kuat. Syukurlah, usulanku diterimah. Mereka tertarik
karena Bu Elly bisa melakukan demo membuat tas dari rotan dalam pameran
tersebut. Hore! Aku meloncat kesenangan, Semoga ini awal untuk meraih salah
satu mimpiku bersama mereka.
Berselang
dua bulan, aku bertemu dan bisa diskusi banyak dengannya. Sebenarnya, sudah
beberapa kali aku berkunjung ke desa dia. Mungkin karena selalu bertemu dalam
rapat sehingga saya belum mengenalnya.
Selain
budidaya ikan, aku berharap mereka juga dapat kembali membuat kerajinan dari
rotan. Saat ini untuk menambah pendapatan mungkin belum, karena pesanan hanya
sesekali. Padahal, bila pesanan lancer, rupiah yang diperoleh dapat ditabung
atau membeli kebutuhan sehari-hari. Bayangkan saja, satu tas bisa dihargai 40
sampai 150 ribu rupiah.
Siang
itu, ketika hujan reda, aku berkunjung ke rumahnya. Tidak jauh dari tempat aku
biasa menginap bila datang di desa itu. Aku tiba sekitar pukul tiga sore,
sehari sebelumnya dan belum sempat berbincang dengannya. Hari kedua di desa
itu, hujan turun sejak pagi, memaksa saya untuk tinggal dirumah. Tidak sulit
menemukan rumahnya, saat itu dia sedang mengambil air hujan di beberapa baskom
yang sempat dia tampung sejak pagi. Air hujan itu salah satu sumber air bersih
yang biasa mereka konsumsi. Maklum, air sungai mereka sudah tidak layak untuk
diminum, hanya untuk mandi dan mencuci saja.
“Mari
masuk, Nak. Maaf, rumahnya berantakan.” Tak perlu dipanngil dua kali, karena
ternyata hujan turun lagi. Aku langsung masuk ruang tamu dan dipersilahkan
duuduk di sebuah kursi tua, kelihatan lusuh tanpa warna. Di rumahnya yang sudah
tua, sedikit reot, sangat jelas tidak ada laki-laki dirumah itu. Namun,
perabotan tua dan beberapa foto tua tergantung rapi di dinding yang sudah
buram. Di rumah ukuran cukup besar itu, dia tinggal sendiri.
Dia
menarik kursi dan duduk di dekatku. “Sebenarnya ibu sudah lama tidak
menganyam.” Menganyam adalah istilah yang biasa digunakan untuk membuat
kerajinan dari bahan rotan. “Ibu diajak ke Semarang, senang sekali. Sejak
pulang, saya berhenti jadi buruh sawit.” Dia dan puluhan perempuan lainnya di
desa itu terpaksa menjadi buruh di perkebunan sawit di desa mereka. Upah yang
mereka peroleh lumayan untuk menyambung hidup.
Mereka
yang menjadi buruh, jam empat subuh sudah harus bangun. Maklum, harus memasak
untuk bekal, sarapan dan makan siang. Jam 6 pagi sudah harus ada di lokasi,
apel pagi. Jam 14 siang mereka sudah bisa kembali ke rumah, dilanjutkan besok
hari. Kalau dihitung, dalam sehari mereka harus bekerja selama enam sampai delapan jam. Untuk tenaga yang mereka
keluarkan dihargai 45 ribu rupiah. Dalam sebulan, mereka bekerja selama 20
hari. Beruntung, bila dalam satu keluarga suami dan isteri bekerja, pendapatan
dua kali lipat. Berbeda dengan Bu Elly, dia sebatang kara di desa itu. Sebenarnya dia punya anak tetapi tinggal di
kota. Dia memilih hidup sendiri dan
tidak mau menyusahkan anaknya. Suaminyapun sudah lebih dulu menghadap Sang
Pencipta.
“Kenapa ibu berhenti kerja di sawit,
hasilnya lumayan dan sudah pasti dapat duit setiap bulan? Memangnya ibu dapat
berapa dari membuat tas rotan ini, Bu? Aku penasaran sehingga terus saja
melempar pertanyaan. “Ya, Ibu sudah tua, tidak kuat lagi. Kerja di sawit itu
berat, Nak. Memang lumayan, tapi kalau menganyam rotan saya senang, suka. Kalau
setiap hari bisa buat satu dan ada yang beli, bisa buat beli lauk dan beras.
Tapi, sayangnya hanya sesekali saja ada pesanan.” Aku sempat melihat kerutan
dikeningnya dan raut wajahnya yang menyimpan harapan. Seumur dia memang menjadi
buruh sangatlah sulit. Berada dibawah terik matahari selama berjam-jam pastilah
menguruas tenaga yang besar. Padahal setiap pagi hanya sarapan nasi dan ikan
kering, tanpa sayur. Sunggu tidak seimbang.
Dalam
perjalanan ke desa itu, aku sempat singgah beberapa saat memperhatikan bagaimana
buruh sawit bekerja. Mereka harus memanggul pupuk dan parang, berjalan
berkilo-kilo meter sepanjang hari dengan alas kaki seadanya. Aku yang masih
mudah merasa tak sanggup menjalani pekerjaan itu. Pantas saja dia memutuskan
berhenti dan mencoba kegiatan lain.
“Terus
terang, saya sangat senang menganyam, dari mudah dulu.” Dia kembali melanjutkan
ceritanya dengan penuh ekspresi.
Tangannya bergerak kesana kemari, seperti sedang memandu sebuah group panduan
suara mengiringi hujan rintik-rintih yang enggan berhenti. “Sekarang tinggal
saya yang bisa menganyam di kampong ini, anak mudah tidak mau belajar. Repot
katanya.” Di desa itu, hanya dia yang memiliki keterampilan menganyam rotan,
padahal selain merupakan peluang usaha produktif juga menjadi bagian
melestarikan budaya. Nenek ini juga mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan
khusus, hanya diperoleh dari orang tuannya. Dia menjadi mahir karena dilakukan
secara tekun.
Aku
melongok keluar jendela, langit masih saja membuang air matanya, menutupi
dirinya dengan selimut hitam. Entah sampai kapan akan berhenti. Padahal, malam ini
ada hajatan perkawinan di kampong itu. Ramai orang berdatangan hendak
menyaksikan perhelatan itu, tidak perdulikan derasnya hujan. Mereka sempat
menyapa Bu Elly. Sejenak suasana hening,
sesekali gemuruh dilangit memecah keheningan. Aku masih berfikir, apa yang harus dilakukan
agar keterampilan ini tidak hilang, ditelan zaman. “ Bu, apakah ibu pernah
mengajak masyarakat disini untuk mengannyam?” Kupecah keheningan. Entah apa
yang difikirkannyanya. Dia sempat termenung. Rupanya,
pertanyaannku membangunkannya dari lamunan. ”Belum, tapi saya mau melatih
mereka. Hanya prosesnya agak lama, tidak langsung pintar dan perlu siapkan
bahan.” Dia kelihatan semangat menjelaskan, sambil sesekali berdiri dan memindahan air dari baskom, hasil
menampung air hujan.
“Memangnya
sulit ya Bu?” Aku bertanya, ingin tahu. “ Ya tergantung, asal mau sabar dan
tekun, itu saja kuncinya.Tapi sebelum membuat, perlu siapkan bahan berupa
rotan. Rotanya yang muda, dipotong sesuai kebutuhan dan di raut menjadi
bagian-bagian kecil menyerupai tali. Lebarnya sekitar satu inci dengan tebal
seperti kertas. Kemudian direndam di lumpur untuk memperoleh bahan yang kuat. ”
Wah, dia sudah mulai melatih saya nih. Dia tidak berhenti berceloteh sampai
hujan berhenti.
“Bu,
hujan sudah berhenti, pamit dulu.” Aku terpaksa mengakhiri perbincangan itu,
harus ketemu dengan ketua kelompok dampinganku, Pak Yarno. Dalam perjalananku,
aku masih berfikir cara melestarikan budaya menganyam rotan ini. Bu Nelly,
satu-satunya orang yang memiliki keterampian itu sudah tua, setelah dia
bagaimana? Akan hilang tanpa bekas, tinggal cerita. Wah, gawat nih.
Aku
terus berfikir, sampai teringat akan program yang pernah kami buat bersama Bu
Rena di Samarinda. Ya, aku ingat sekarang, gagasan itu selain untuk menjajaki
peluang usaha baru sekaligus dapat melestarikan budaya menganyam di kampong
itu.
Aku
tak langsung pulang, rumah dimana aku menginap dan membatalkan bertemu dengan
Pak Yarno. Aku langsung ke rumah Bu Rena. Tidak peduli dia sedang sibuk
menyiapakna hajatan perkawinanan adik laki-lakinya. Aku tidak mau kehilangan
gagasan ini. Untunglah, sebelum aku sampai di rumahnya, aku bertemu di jalan.
“Bu Rena mau kemana?” Aku menahannya sejenak untuk berbicara. “Mau ke rumah Bu
Elly. Mau ambil pesanan tas Bapak.” Aku memang memasan tas sebagai oleh-oleh.
“Tadi saya ke rumah Bu Elly, tapi tasnya belum saya ambil, katanya Bu Rena yang
pesan.” Saat aku disana, memang kulihat ada tas kecil yang sedang dikerjakan.
Aku memang pesan lewat Bu Rena, sebelum datang ke desa itu.
“Memangnya
ada apa, Pak?” Dia bertanya sambil menyeka keringat diwajahnya, padahal hujan
baru saja berhenti, masih terasa dingin. Mungkin karena dia sibuk mengurus
persiapan perkawinan. “Kalau mau ke rumah Bu Nelly, sambil jalan saja ya?” Aku
menceritakan gagasan yang pernah kami bicarakan dan rencana menjalankannya.
Kuceritakan juga hasil perbincaganku dengan Bu Nelly. “Wow, menarik Pak! Kapan
kita mulai?” Ibu ini semangatnya bukan
main. “Ikan sepat, ikan gabus. Lebih cepat lebih bagus.” Jarak rumah Bu Rena
dan Bu Nelly sekitar seratus meter. Sayangnya, ketika sampai disana Bu Nelly
tidak ada di rumah, entah kemana. “ Bagaimana, Pak? Bu Nelly tidak ada.” Tidak
ada yang tahu, kemana dia pergi, jadi kami putuskan untuk membahsnya lain waktu
saja. Mala mini tidak mungkin karena ada acara, besok pagi sekali saya sudah
berangkat ke kecamatan, perjalan pulang. “Bagaimana tas pesanan saya Bu?”
Hampir lupa, saya pesana tas untuk oleh-oleh. Sekalian mengganti tas yang
kuberikan pada Pak Yarno. Tas kecil itu kunakan untuk menyimpan benda-benda
kecil seperti hand phone dan dompet. “Nanti
malam akan kami antar Pak.”
Kami
kemudian kembali, dia langsung ke rumahnya, sedangkan saya ke rumah Pak Yarno,
tempat aku menginap. “Bu Nelly? Tadi kami ke rumah Bu.” Aku kaget, ternyata
orang yang dicari ada dirumah Pak Yarno. “Saya antar tas, Nak. Kata Bu Rena,
ini pesanannya ya?” AKu lihat sebuah tas anyaman rotan yang cantik, berwarna
coklat mudah dengan garis-garis hitam. Sebuah tali dan penuutp melengkapi tas.
“Berapa harganya, Bu? Aku harus bertanya karena harga tas berbeda, tergantung
ukran dan tingkat kesulitan pembuatannya. “Hanya 75 ribu rupiah saja, Nak.” Setelah menerima ta situ, dia langsung pulang
karena akan ke rumah Bu rena juga seperti yang lain. “Nak, saya permisi dulu.
Rencana melatih ibu-ibu disini saya siapa kapan saja.” Dia pamit dengan pesan
yang aku fikir sebagai ikrar tanda jadinya program ini. Sebelumnya Bu Rena dan
beberapa ibu mudah di desa itu juga mengungapkan ketertarikannya dengan
kerajinan itu bila ada yang melatih dan membantu pemasaran.
Malam
harinya, aku diundang, hadir di rumah Bu Rena. Setelah acara inti selesai
kuputuskan langsung pulang, menyimpan tenaga untuk perjalanan pulang. Badanku
sudah ingin diam, istirahat. Kasur dan kelambu sudah disiapkan, ada bantal dan
sarung, mengantarkan saya untuk melanjutkan mimpi, mimpi yang akan kubangun
bersama Bu Nelly.
Sebelum
kembali, aku mampir di kantor kecamatan dan
berdiskusi dengan camat. Kuceritakan tentang rencana Bu Nelly dan
masyarakat Desa Tambak Bajai. Kukatakan program Ayo Menganyam Rotan sebenarnya
sudah digagas Juli 2012 di Samarinda bersama Bu Rena. Kemudian Bu Nelly
melanjutkan gagasan itu dengan keterlibatannya pada pameran di Semarang. “Kebetulan, tahun ini PKK ada program untuk
membuat semacam tempat untuk menampung hasil kerajinan masyarakat di kecamatan
Dadahub. Jadi, hasil kerajinan Desa Tambak Bajai bisa dititip di tempat
tersebut.” Demikian kata dia mengakhiri perbincangan kami. (sevit)