Minggu, 09 September 2012

Ayo Menganyam Rotan



Elly, namanya. Umurnya 72 tahun, karena sudah berumur aku memanggilnya Bu Elly. Kukenal dia dari seorang masyarakat yang aku dampingi. Aku salah satu pendamping masyarakat dalam membudidayakan ikan keramba di Desa Tambak Bajai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.  Program tersebut salah satu kegiatan PNPM Peduli yang kufasilitasi. Program ini ditujukan kepada kelompok masyarakat adat yang terpencil, tidak terjangkau program pembangunan dan hampir tidak terlihat oleh “kaca mata” pemerintah.
Aku mengenalnya tidak kebetulan, tapi untuk pengembangan program pendampinganku di desa itu. Disana bermukim komunitas Masyarakat Adat Ngaju. Aku ingin membangun mimpi bersama mereka, seperti di kampong lain, dimana aku telah memulainya beberapa tahun lalu. Beberapa mimpi telah diraih, beberapa lainnya masih menggantung di langit. Tidak mudah menggapainya, tapi terasa membanggakan ketika diraih. Sebenarnya, ada 60 orang yang teribat dalam program ini. Hapakat dan  Bina Usaha nama kedua kelompok mereka. Sudah tujuh bulan mereka memelihara ikan sungai itu. Setiap hari mereka bergantian merawat dan memberi pakan. Bahkan mereka patungan membeli pakan di kota, demi sang ikan, harapan mereka.
Seperti di kampong dampinganku lainnya, pengembangan program berdasarkan potensi sumberdaya alam dan keterampilan yang mereka miliki. Di Kalimantan dikenal memiliki hutan, sebelum diserbu tambang dan perkebunan sawit. Seperti  dalam perang Teluk, Amerika melakukan invasi ke Irak. Mereka di serbu dari segala arah, dikepung, sampai tidak berdaya, menyerahkan kebun dan hutan mereka untuk ditambang dan disulap menjadi kebun sawit. Mereka menyerah ditengah ketidakberdayaan. Tidak ada yang mengirimkan bantuan “kemanusiaan” kepada mereka, meski bertahan sampai titik nadir. Mereka terbelenggu kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterisolasian.
Kendati demikian, masih ada sedikit hutan yang tersisa. Mereka masih menyimpan selembar kebun karet dan rotan untuk bertahan hidup. Meskipun “perseteruan” dengan perusahaan sawit tidak terelakkan, namun asap dapur harus tetap mengepul, anak-anak harus mengejar mimpi, orang sakit butuh sentuhan dokter.
Untunglah dalam hutan dan kebun yang tersisa, masih ada sejengkal rotan. Dulu, rotan menjadi andalan komunitas masyarakat adat tersebut. Selain dijual, mereka juga membuat peralatan untuk menunjang kegiatan sehari-hari, seperti; topi, tas, tikar dan lainnya. Sampai pada satu kesempatan, Kemitraan mengundang mereka untuk mengikuti pameran di Semarang. Aku fikir, inilah saatnya untuk mendorong mereka mengembangkan program, bukan hanya budidaya ikan. Kegiatan ini yang membawa saya lebih dekat dengannya.
Melalui Bu Rena, salah satu masyarakat dampinganku, aku mencari orang yang bisa mewakili mereka mengikuti pameran itu. Awalnya dia mengusulkan tantenya yang  dikenal pandai membuat beragam jenis kerajinan  dari rotan. Sayangnya, dia tidak tinggal di desa dampinganku. Seperti sudah diatur, ini awal perkenalanku dengan Bu Elly. Dia terpilih karena ternyata hanya dia yang bisa membuat kerajinan di desa itu. Diapun berangkat ke Semarang. Namun sebelum berangkat dia harus menyiapkan beberapa contoh hasil kerajinan tangannya dan membawa beberapa lembar rotan untuk dia praktikkan dalam pameran.
Aku mendapat kabar, sebelum keberangkatannya bahwa dia sangat senang, bersemangat. Namun, umunrnya hampir senja menjadi penghalang baginya.  Aku takut dia sakit dalam pejalanan yang cukup panjang, apalagi aku tidak bisa menyertainya. Sebenarnya bukan hanya dia yang berangkat,  namun ada yang dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tapi mereka baru akan bergabung dalam tim Kalimantan di Semarang.  Jarak yang jauh dan jaringan komunikasi yang tidak ada menyulitkan mencari solusi. Bahkan mencari  pengganti akan sulit karena tidak ada orang lain yang memiliki keterampilan itu. Aku putuskan membuat beberapa alternative. Pertama, dia berangkat tapi ada yang menemani dari kampung. Kedua dia digantikan orang lain, tapi di Semarang tidak ada praktik membuat kerajinan, hanya membawa hasil yang sudah jadi.
Masalah ini sempat saya “endapkan”, aku pusing. Satu minggu kemudian ketika panitia menghubungi kembali baru kumulai memikirnnya lagi. Untungnya, ada orang desa yang ke kota dan berhasil aku hubungi dengan pesan singkat di hand phone ku. Kuminta dia untuk membicarakan masalah ini di kampong dan memilih alternative yang kubuat.
Dua hari kemudian, mereka menghubungi kembali dan ternyata memilih alternative pertama. Ya, ya. Aku berguman dalam hati. Ini artinya aku harus menghubungi panitia agar bisa menambah satu orang lagi untuk menemani Bu Elly. Kuungkapkan beberapa alasan yang cukup kuat. Syukurlah, usulanku diterimah. Mereka tertarik karena Bu Elly bisa melakukan demo membuat tas dari rotan dalam pameran tersebut. Hore! Aku meloncat kesenangan, Semoga ini awal untuk meraih salah satu mimpiku bersama mereka.
Berselang dua bulan, aku bertemu dan bisa diskusi banyak dengannya. Sebenarnya, sudah beberapa kali aku berkunjung ke desa dia. Mungkin karena selalu bertemu dalam rapat sehingga saya belum mengenalnya.
Selain budidaya ikan, aku berharap mereka juga dapat kembali membuat kerajinan dari rotan. Saat ini untuk menambah pendapatan mungkin belum, karena pesanan hanya sesekali. Padahal, bila pesanan lancer, rupiah yang diperoleh dapat ditabung atau membeli kebutuhan sehari-hari. Bayangkan saja, satu tas bisa dihargai 40 sampai 150 ribu rupiah.
Siang itu, ketika hujan reda, aku berkunjung ke rumahnya. Tidak jauh dari tempat aku biasa menginap bila datang di desa itu. Aku tiba sekitar pukul tiga sore, sehari sebelumnya dan belum sempat berbincang dengannya. Hari kedua di desa itu, hujan turun sejak pagi, memaksa saya untuk tinggal dirumah. Tidak sulit menemukan rumahnya, saat itu dia sedang mengambil air hujan di beberapa baskom yang sempat dia tampung sejak pagi. Air hujan itu salah satu sumber air bersih yang biasa mereka konsumsi. Maklum, air sungai mereka sudah tidak layak untuk diminum, hanya untuk mandi dan mencuci saja.
“Mari masuk, Nak. Maaf, rumahnya berantakan.” Tak perlu dipanngil dua kali, karena ternyata hujan turun lagi. Aku langsung masuk ruang tamu dan dipersilahkan duuduk di sebuah kursi tua, kelihatan lusuh tanpa warna. Di rumahnya yang sudah tua, sedikit reot, sangat jelas tidak ada laki-laki dirumah itu. Namun, perabotan tua dan beberapa foto tua tergantung rapi di dinding yang sudah buram. Di rumah ukuran cukup besar itu, dia tinggal sendiri.
Dia menarik kursi dan duduk di dekatku. “Sebenarnya ibu sudah lama tidak menganyam.” Menganyam adalah istilah yang biasa digunakan untuk membuat kerajinan dari bahan rotan. “Ibu diajak ke Semarang, senang sekali. Sejak pulang, saya berhenti jadi buruh sawit.” Dia dan puluhan perempuan lainnya di desa itu terpaksa menjadi buruh di perkebunan sawit di desa mereka. Upah yang mereka peroleh lumayan untuk menyambung hidup.
Mereka yang menjadi buruh, jam empat subuh sudah harus bangun. Maklum, harus memasak untuk bekal, sarapan dan makan siang. Jam 6 pagi sudah harus ada di lokasi, apel pagi. Jam 14 siang mereka sudah bisa kembali ke rumah, dilanjutkan besok hari. Kalau dihitung, dalam sehari mereka harus bekerja selama enam sampai  delapan jam. Untuk tenaga yang mereka keluarkan dihargai 45 ribu rupiah. Dalam sebulan, mereka bekerja selama 20 hari. Beruntung, bila dalam satu keluarga suami dan isteri bekerja, pendapatan dua kali lipat. Berbeda dengan Bu Elly, dia sebatang kara di desa itu.  Sebenarnya dia punya anak tetapi tinggal di kota.  Dia memilih hidup sendiri dan tidak mau menyusahkan anaknya. Suaminyapun sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta.
            “Kenapa ibu berhenti kerja di sawit, hasilnya lumayan dan sudah pasti dapat duit setiap bulan? Memangnya ibu dapat berapa dari membuat tas rotan ini, Bu? Aku penasaran sehingga terus saja melempar pertanyaan. “Ya, Ibu sudah tua, tidak kuat lagi. Kerja di sawit itu berat, Nak. Memang lumayan, tapi kalau menganyam rotan saya senang, suka. Kalau setiap hari bisa buat satu dan ada yang beli, bisa buat beli lauk dan beras. Tapi, sayangnya hanya sesekali saja ada pesanan.” Aku sempat melihat kerutan dikeningnya dan raut wajahnya yang menyimpan harapan. Seumur dia memang menjadi buruh sangatlah sulit. Berada dibawah terik matahari selama berjam-jam pastilah menguruas tenaga yang besar. Padahal setiap pagi hanya sarapan nasi dan ikan kering, tanpa sayur. Sunggu tidak seimbang.
Dalam perjalanan ke desa itu, aku sempat singgah beberapa saat memperhatikan bagaimana buruh sawit bekerja. Mereka harus memanggul pupuk dan parang, berjalan berkilo-kilo meter sepanjang hari dengan alas kaki seadanya. Aku yang masih mudah merasa tak sanggup menjalani pekerjaan itu. Pantas saja dia memutuskan berhenti dan mencoba kegiatan lain.
“Terus terang, saya sangat senang menganyam, dari mudah dulu.” Dia kembali melanjutkan ceritanya dengan penuh  ekspresi. Tangannya bergerak kesana kemari, seperti sedang memandu sebuah group panduan suara mengiringi hujan rintik-rintih yang enggan berhenti. “Sekarang tinggal saya yang bisa menganyam di kampong ini, anak mudah tidak mau belajar. Repot katanya.” Di desa itu, hanya dia yang memiliki keterampilan menganyam rotan, padahal selain merupakan peluang usaha produktif juga menjadi bagian melestarikan budaya. Nenek ini juga mengaku tidak pernah mengikuti pelatihan khusus, hanya diperoleh dari orang tuannya. Dia menjadi mahir karena dilakukan secara tekun.
Aku melongok keluar jendela, langit masih saja membuang air matanya, menutupi dirinya dengan selimut hitam. Entah sampai kapan akan berhenti. Padahal, malam ini ada hajatan perkawinan di kampong itu. Ramai orang berdatangan hendak menyaksikan perhelatan itu, tidak perdulikan derasnya hujan. Mereka sempat menyapa  Bu Elly. Sejenak suasana hening, sesekali gemuruh dilangit memecah keheningan.  Aku masih berfikir, apa yang harus dilakukan agar keterampilan ini tidak hilang, ditelan zaman. “ Bu, apakah ibu pernah mengajak masyarakat disini untuk mengannyam?” Kupecah keheningan. Entah apa yang difikirkannyanya. Dia sempat termenung.   Rupanya, pertanyaannku membangunkannya dari lamunan. ”Belum, tapi saya mau melatih mereka. Hanya prosesnya agak lama, tidak langsung pintar dan perlu siapkan bahan.” Dia kelihatan semangat menjelaskan, sambil sesekali  berdiri dan memindahan air dari baskom, hasil menampung air hujan.
“Memangnya sulit ya Bu?” Aku bertanya, ingin tahu. “ Ya tergantung, asal mau sabar dan tekun, itu saja kuncinya.Tapi sebelum membuat, perlu siapkan bahan berupa rotan. Rotanya yang muda, dipotong sesuai kebutuhan dan di raut menjadi bagian-bagian kecil menyerupai tali. Lebarnya sekitar satu inci dengan tebal seperti kertas. Kemudian direndam di lumpur untuk memperoleh bahan yang kuat. ” Wah, dia sudah mulai melatih saya nih. Dia tidak berhenti berceloteh sampai hujan berhenti.   
“Bu, hujan sudah berhenti, pamit dulu.” Aku terpaksa mengakhiri perbincangan itu, harus ketemu dengan ketua kelompok dampinganku, Pak Yarno. Dalam perjalananku, aku masih berfikir cara melestarikan budaya menganyam rotan ini. Bu Nelly, satu-satunya orang yang memiliki keterampian itu sudah tua, setelah dia bagaimana? Akan hilang tanpa bekas, tinggal cerita. Wah, gawat nih.
Aku terus berfikir, sampai teringat akan program yang pernah kami buat bersama Bu Rena di Samarinda. Ya, aku ingat sekarang, gagasan itu selain untuk menjajaki peluang usaha baru sekaligus dapat melestarikan budaya menganyam di kampong itu.
Aku tak langsung pulang, rumah dimana aku menginap dan membatalkan bertemu dengan Pak Yarno. Aku langsung ke rumah Bu Rena. Tidak peduli dia sedang sibuk menyiapakna hajatan perkawinanan adik laki-lakinya. Aku tidak mau kehilangan gagasan ini. Untunglah, sebelum aku sampai di rumahnya, aku bertemu di jalan. “Bu Rena mau kemana?” Aku menahannya sejenak untuk berbicara. “Mau ke rumah Bu Elly. Mau ambil pesanan tas Bapak.” Aku memang memasan tas sebagai oleh-oleh. “Tadi saya ke rumah Bu Elly, tapi tasnya belum saya ambil, katanya Bu Rena yang pesan.” Saat aku disana, memang kulihat ada tas kecil yang sedang dikerjakan. Aku memang pesan lewat Bu Rena, sebelum datang ke desa itu. 

“Memangnya ada apa, Pak?” Dia bertanya sambil menyeka keringat diwajahnya, padahal hujan baru saja berhenti, masih terasa dingin. Mungkin karena dia sibuk mengurus persiapan perkawinan. “Kalau mau ke rumah Bu Nelly, sambil jalan saja ya?” Aku menceritakan gagasan yang pernah kami bicarakan dan rencana menjalankannya. Kuceritakan juga hasil perbincaganku dengan Bu Nelly. “Wow, menarik Pak! Kapan kita mulai?”  Ibu ini semangatnya bukan main. “Ikan sepat, ikan gabus. Lebih cepat lebih bagus.” Jarak rumah Bu Rena dan Bu Nelly sekitar seratus meter. Sayangnya, ketika sampai disana Bu Nelly tidak ada di rumah, entah kemana. “ Bagaimana, Pak? Bu Nelly tidak ada.” Tidak ada yang tahu, kemana dia pergi, jadi kami putuskan untuk membahsnya lain waktu saja. Mala mini tidak mungkin karena ada acara, besok pagi sekali saya sudah berangkat ke kecamatan, perjalan pulang. “Bagaimana tas pesanan saya Bu?” Hampir lupa, saya pesana tas untuk oleh-oleh. Sekalian mengganti tas yang kuberikan pada Pak Yarno. Tas kecil itu kunakan untuk menyimpan benda-benda kecil seperti hand phone dan dompet. “Nanti malam akan kami antar Pak.”
Kami kemudian kembali, dia langsung ke rumahnya, sedangkan saya ke rumah Pak Yarno, tempat aku menginap. “Bu Nelly? Tadi kami ke rumah Bu.” Aku kaget, ternyata orang yang dicari ada dirumah Pak Yarno. “Saya antar tas, Nak. Kata Bu Rena, ini pesanannya ya?” AKu lihat sebuah tas anyaman rotan yang cantik, berwarna coklat mudah dengan garis-garis hitam. Sebuah tali dan penuutp melengkapi tas. “Berapa harganya, Bu? Aku harus bertanya karena harga tas berbeda, tergantung ukran dan tingkat kesulitan pembuatannya. “Hanya 75 ribu rupiah saja, Nak.”  Setelah menerima ta situ, dia langsung pulang karena akan ke rumah Bu rena juga seperti yang lain. “Nak, saya permisi dulu. Rencana melatih ibu-ibu disini saya siapa kapan saja.” Dia pamit dengan pesan yang aku fikir sebagai ikrar tanda jadinya program ini. Sebelumnya Bu Rena dan beberapa ibu mudah di desa itu juga mengungapkan ketertarikannya dengan kerajinan itu bila ada yang melatih dan membantu pemasaran.
Malam harinya, aku diundang, hadir di rumah Bu Rena. Setelah acara inti selesai kuputuskan langsung pulang, menyimpan tenaga untuk perjalanan pulang. Badanku sudah ingin diam, istirahat. Kasur dan kelambu sudah disiapkan, ada bantal dan sarung, mengantarkan saya untuk melanjutkan mimpi, mimpi yang akan kubangun bersama Bu Nelly.
Sebelum kembali, aku mampir di kantor kecamatan dan  berdiskusi dengan camat. Kuceritakan tentang rencana Bu Nelly dan masyarakat Desa Tambak Bajai. Kukatakan program Ayo Menganyam Rotan sebenarnya sudah digagas Juli 2012 di Samarinda bersama Bu Rena. Kemudian Bu Nelly melanjutkan gagasan itu dengan keterlibatannya pada pameran di Semarang.  “Kebetulan, tahun ini PKK ada program untuk membuat semacam tempat untuk menampung hasil kerajinan masyarakat di kecamatan Dadahub. Jadi, hasil kerajinan Desa Tambak Bajai bisa dititip di tempat tersebut.” Demikian kata dia mengakhiri perbincangan kami. (sevit)

Jumat, 07 September 2012

Mengembalikan Ikan yang Hilang

Program PNPM Peduli tidak hanya membuka akses komunitas marginal, tapi juga menemukan sejumlah asset mereka yang “hilang”.  Cerita ini kuperoleh saat  berkunjung ke Desa Tambak Bajai, Kalimantan Tengah.

Dari tempatku tinggal, desa ini akan lebih cepat dicapai lewat Banjarmasin dibandingkan Palangkaraya, ibukota propinsi tersebut. Setelah menghabiskan waktu sekitar duabelas  jam, perkampungan tua yang terletak di Kecamatan Dadahub itu berhasil aku capai. Bila dihitung-hitung, ini adalah kunjunganku yang ketiga. Beberapa jalur telah aku coba, sungai Mangkatib yang melintas di desa itu telah kuarungi dengan perahu cess, sebutan untuk perahu kecil di kampung yang dihuni  komunitas masyarakat Dayak Ngaju itu. Perkebunan sawit yang mengepung desa tua itu telah kujelajahi dua kali, sampai mengaruhi kanal-kanal yang berjejer rapi di sepanjang sungai.

Sepanjang jalan, hamparan hutan berganti dengan sawit, tidak ada pohon yang berdiri tegak, menjulang dan menembus awan. Tidak ada burung yang bernyanyi dan monyet yang  menyapa, apalagi orangutan dan banyak lagi satwa penghuni belantara hutan Kalimantan. Ketika menyusuri sungaipun demikian.  Hanya nampak pohon karet yang sudah tua dan beberapa ekor monyet hidung panjang yang mengintip dari balik pepohona yang digantungi rotan.

Nama Desa Tambak Bajai berasal bahasa setempat yang berarti tempat buaya. Desa ini dikenal sebagai perkampungan tua dan menyimpan  cerita dan peristiwa, termasuk cerita tentang Proyek Lahan Gambut (PLG). Proyek orde baru ini telah merampas kemakmuran dan kedamaian masyarakat desa yang hanya berpenghuni tidak lebih  seratus kepala keluarga tersebut.

Kondisi ini mungkin hanya sebagian kecil saja dari banyak peristiwa yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.  Kekhawatiran dampak “virus mematikan” globalisasi dan modernisasi kini terbukti. Pengaruhnya begitu besar menerobos sampai pedalaman Kalimantan. Kita hampir tidak menyadari, sampai semuanya hilang, pergi dan hanya bisa menjadi cerita bagi anak cucu. Komunitas masyarakat Adat Ngaju yang berada di ujung kabupaten Kapuas ini, dulunya sangat makmur, dikenal sebagai perkampung tua.  Wilayah ini memiliki banyak kearifan lokal untuk melstarikan hutan dan sumberdaya di dalamnya, tempat mereka mengambil rotan dan menorah karet untuk makan dan memenuhi kebuthan hidup sehari-hari lainnya. Mereka hanya mengambil sesuai kebutuhan, mengambil dua batang kayu untuk membangun dan perbaikan rumah, beberapa lembar rotan untuk membuat tas, beberapa tetes karet untuk dijual dan membeli pakaian.

Kini, semua itu tinggal cerita. Hutan yang rimbun telah menjadi hamparan kebun sawit yang tiada batas, perempaun harus memancing ikan kecil di tepi sungai untuk santapan siang keluarga, kebun rotan dan karet sudah terkikis, hampir habis.

Menurut Yarno Abet Nion, salah satu tetua adat, sebelum PLG dan sawit masuk ke desa mereka, ikan di sungai melimpah. Mereka bertahan hidup setahun dari penghasilan menangkap ikan saja. Sekarang jangankan setahun, hanya untuk makan sehari saja mereka haru membeli  15 ribu per kg. Bahkan, untuk mendapatkan ikan sebesar kelingkingpun, ibu-ibu harus berdiri sepanjang pagi untuk memancing. Lebih menyedihkan lagi, sebagian penduduk kini harus membeli ikan asin yang dijual di pasar, seminggu sekali.

Saat aku disana, kulihat seorang ibu berdiri ditepi sungai sambil memegang pancing. Aku coba mendekat pelan-pelan agar tidak mengganggu. Kulihat disampingnya ada ember hitam yang berisi ikan kecil-kecil, sebesar jari telunjuk saya. “Maaf bu, sedang mancing ya?” Aku membuka pembicaraan basa-basi untuk kenalan. Diapun tidak menjawab, mungkin karena malu-malu atau tidak ingin membuat suara agar ikan tidak kabur. Dia hanya mengangguk dan melempar senyum. Aku mengerti isyarat itu. “Ikannya untuk pakan ikan ya,  Bu?” Setelah beberapa saat, aku coba membuka pembicaraan kembali. “Oh tidak, ini untuk makan siang,” jawabnya datar.  Aku tersentak! Aku membayangkan ikan sekecil itu akan menjadi santapan siang keluarga. Di tempatku, ikan sekecil dibuang atau paling tidak hanya menjadi pakan ternak. Ibu yang belakangan kuketahui bernama Bu Santi. Saat bertemu mengenakan daster merah mengaku terpaksa memancing ikan di sungai karena harga ikan sudah tidak terjangkau.

Kesulitan masyarakat mendapatkan ikan bukan hanya dikeluhkan oleh Santi. Pak Yarno, tempat aku menginap juga mengalami hal yang sama. Menurutnya, masyarakat terpaksa makan ikan kecil-kecil karena yang besar sudah tidak ada. “Kami tidak tahu, kemana ikan di desa ini,” kata Yarno, panggilan tetua adat ini. Sebelum proyek PLG dan serangan kebun sawit di desa mereka, ikan bukan masalah. Bahkan mereka menjual sampai keluar desa dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat. Yarno dan puluhan masyarakat desa tersebut memiliki teknik menangkap ikan yang unik, beje’ namanya.

Cara membuat beje’ sangat sederhana. Masyarakat menggali lubang seperti sumur atau kolam di kebun karet mereka. Cara kerja metode ini juga cukup mudah, ketika banjir datang atau air sungai meluap sampai menggenangi kebun karet, ikan dari sungai akan naik. Ketika air mulai surut, ikan tersebut akan tinggal pada sumur dan kolam jebakan itu. Sayangnya, saat disana Pak Yarno tidak sempat melihat beje’. Tapi, cerita Pak Yarno sempat mengajak saya ke rumah salah seorang warga yang baru saja panen beje. Aku masih penasaran, seperti apa ikan hasil tangkapaan beje yang diceritakannya. Ketika sampai, kulihat ikan sudah dipisahkan dalam 3 baskom berbeda. “Bu, kenapa ikan-ikan dipisahkan pada tempat berbeda?”  Aku lihat, ikan yang berbeda ukuran itu dipisahkan, tapi ukurannya juga paling besar hanya seperti tiga jari orang dewasa. “Harganya berbeda, Pak.” Menurutnya, ikan itu harganya bervariasi. Mulai dari sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu rupiah per kg, tergantung ukuran.

Seorang ibu rumah tangga di desa itu juga sempat berceloteh tentang  kesulitan memperoleh ikan. Mereka harus membeli ikan dari luar desa, sesekali diganti dengan telur ayam. Karena harga ikan sudah mahal, mereka lebih sering mengkonsumsi ikan kering.

Ica, petugas puskesmas pembantu desa itu mengaku, kalau hampir setiap hari masyarakat mengkonsumsi ikan asing. “Keluhan pasien yang saya tangani paling banyak menderita darah tinggi.” Perempuan yang tinggal terpisah dengan keluarganya ini juga menjelaskan kalau sebagian besar pasien yang darah tinggi adalah orang tua.

Sungguh ironi, di sungai yang begitu besar, tapi tidak ada lagi ikan untuk dimakan. Hanya tersisa ikan sebesar kelingking, hanya cukup untuk makan siang. Bahkan menurut Pak Yarno, ada jenis ikan yang tidak pernah masyarakat temui dalam beberapa tahun ini.

Hilangnya ikan di Sungai Mangkatib Desa Tambak Bajai ditenggarai  Pak Yarno karena adanya aktifitas perkebunan sawit. Mereka menganggap, penggunaan pestisida yang besar oleh perusahaan perkebunan sawit menyebabkan pencemaran air sungai dan mengakibatkan ikan mati.

Tapi, sejauh ini, mereka juga tidak pernah menemukan ikan yang mati di sungai. Aku sempat diskusi dengan Pak Yarno  tentang kemungkinan penyebab lainnya. Menurutunya ada kemungkinan penyebab lainnya, yaitu proses penyiapan lahan PLG membuat kanal yang cukup banyak dan besar. Kondisi tersebut menyebabkan ikan yang awanya terkumpul di sungai, sekarang tersebar di banyak kanal. Kemungkinan penyebab lainnya adalah over fishing atau penangkapan berlebihan. Kalau melihat metode penangkapan ikan oleh masyarakat selama belasan tahun menyebabkan berkurangnya ikan di sungai. Bayangkan saja, berton-ton ikan akan terjebak pada beje’ dan telah dilakukan sejak lama. Ikan yang kecil dan besar semuanya diambil. Akibatnya, jumlah ikan dari tahun ketahun berkurang. Bahkan, bila cara menangkap ikan dengan beje ini terus dilakukan kemungkinan hilangnya ikan di desa itu semakin besar. Tapi, ketiga hipotesa ini harus dilakukan penelitian mendalam untuk memastikan penyebabnya.

Kesulitan memperoleh ikan di desa tersebut menjadi latar belakang program PNPM Peduli. Melalui program itu, masyarakat membentuk dua kelompok untuk mengelolah usaha budidaya ikan sistem keramba. Harapannya mereka sederhana, selain untuk kegiatan ekonomi juga menyediakan ikan di kampong mereka. Memang belum panen, tapi harapan telah digantungkan. Tantangan datang satu persatu, mulai dari pakan sampai keaktifan pengurus. Namun, layar telah dikembangkan, kapal harus berlayar, usaha ini akan menjadi pintu masuk program lainnya untuk mengembalikan ikan yang hilang di Tambak Bajai. Saat ini, dinas perikanan setempat sudah berkunjung dan menebar janji. Mereka akan membantu kelompok agar usaha budidaya ikan tersebut berjalan sesuai harapan.  Bkan itu saja, Pak Yarno dan beberapa anggota kelompok akan membuat demplot kolam ikan di belakang rumah. “ Saya sudah siapkan lokasi untuk budidaya ikan, sekaligus akan mengambil bibit dari sungai supaya ikan itu tidak punah.” Aku sungguh berharap rencana dia berhasil agar ikan yang tersisa dapat dilestarikan. “Saya juga akan buat daftar ikan yang pernah ada di desa, Pak.”  Sungguh satu cita-cita yang besar, bravo Pak Yarno! (sevit)